visitaaponce.com

Seleksi Hakim Ad Hoc HAM Tersandera Mahkamah Agung

Seleksi Hakim Ad Hoc HAM Tersandera Mahkamah Agung
Gedung Mahkamah Agung di Jakarta.(MI/Susanto)

SELEKSI jilid dua calon hakim ad hoc agung hak asasi manusia (HAM) masih mandek. Hal itu lantaran Mahkamah Agung (MA) hingga Selasa (4/4), belum mengirimkan surat permintaan seleksi hakim ad hoc kepada Komisi Yudisial (KY).

Seleksi perlu dilakukan imbas dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang hanya menyetujui tiga calon Hakim Agung dari 8 calon yang diajukan KY setelah melakukan proses uji kelayakan dan kepatutan.

Tanpa tedeng aling-aling, DPR bahkan tidak menyetujui satu calon pun dari tiga calon hakim ad hoc HAM.

Baca juga : Triyono dan Harnoto tak Dipilih DPR Jadi Calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc

Juru bicara KY, Miko Ginting mengaku pihaknya belum mendapatkan lampu hijau dari MA untuk segera menyeleksi calon hakim ad hoc.

Miko menyebut masalahnya bukan hanya soal waktu seleksi, tetapi juga perihal mencari calon potensial yang mau untuk mendaftar jadi hakim ad hoc.

Baca juga : Jimly Asshiddiqie Usulkan Hakim MK Minimal Berusia 60 Tahun

Minimnya calon potensial mendaftar karena perkara yang pasti ditangani baru satu, yakni perkara Paniai, yang itu pun hanya satu berkas perkara.

“Sementara di sisi lain, masa tugas hakim ad hoc di MA bersifat periodik, untuk masa waktu tertentu. Selama masa jabatan itu, hakim ad hoc di MA tidak diperbolehkan untuk menjalankan pekerjaan lain,” tutur Miko kepada Media Indonesia, Selasa (4/4).

Sementara itu, juru bicara MA, Suharto menegaskan MA akan segera mengajukan surat ke KY untuk melakukan rekrutmen calon hakim agung maupun hakim ad hoc HAM.

“Karena berkas kasasi perkara HAM telah masuk ke MA namun hakim ad hoc HAM-nya belum ada,” ujar Suharto.

Terpisah, Anggota divisi pemantauan impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Jane Rosalina Rumpia, memandang tidak diloloskannya seluruh calon hakim ad hoc HAM oleh DPR merupakan langkah positif.

Hal itu lantaran sedari awal Jane menilai proses seleksi hakim agung berlangsung dengan sangat tidak optimal.

“Jumlah calon hakim ad hoc yang diajukan KY juga sangat sedikit dan memiliki kriteria yang cukup buruk dari segi pengetahuan, pengalaman, dan kepedulian terhadap gerakan HAM,” ucap Jane kepada Media Indonesia.

Jane mengakui tidak lolosnya tiga calon hakim ad hoc HAM pada fit and proper test di DPR berkonsekuensi dengan harus diulangnya proses seleksi oleh MA dan KY.

Belum lagi persoalan minimnya calon pendaftar yang berkualitas dan berkompeten menjadi salah satu problem besar sejak awal proses seleksi calon hakim ad hoc HAM.

“Melihat kondisi tersebut ini tentu bisa dijadikan sebagai ruang dan kesempatan bagi Indonesia untuk mendapatkan hakim ad hoc HAM yang lebih memiliki kompetensi dan kualitas mumpuni untuk mengemban tugas sebagai penjaga kesatuan hukum di tingkat kasasi,” tegasnya.

KontraS menyebut seluruh pihak perlu menjadikan proses seleksi ulang ini sebagai momentum perbaikan dari proses seleksi yang telah berlangsung sebelumnya.

Jane juga mengkritisi syarat untuk menjadi hakim ad hoc pengadilan HAM yang disusun oleh KY itu memuat batas usia minimal 50 tahun.

Menurutnya, persyaratan umur minimal ini jadi penghalang bagi warga yang ingin terlibat tapi belum berusia 50 tahun.

“Secara formil, tentu panitia seleksi bisa menggunakan alibi merujuk UU26/2000. Diskriminasi dari segi umur memang menjadi tembok tebal situasi ini,” tuturnya.

“PR nya saat ini, kita perlu secara bersama-sama mendorong seluruh aktivis, akademisi, dan para praktisi yang memiliki kualitas pengetahuan dan kompetensi yang mumpuni terkait perkara pelanggaran HAM berat, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan, untuk mendaftar dalam proses seleksi ulang calon hakim ad hoc HAM tingkat kasasi nantinya,” tambahnya. (Z-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat