visitaaponce.com

Pemimpin tidak Adil akan Timbulkan Masalah

Pemimpin tidak Adil akan Timbulkan Masalah
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla.(MI/Susanto)

BELUM lama ini Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, melontarkan pernyataan yang menimbulkan perdebatan. Ia mengatakan pemerintah harus hati-hati dengan isu ketidakadilan di masyarakat sebab berpotensi menimbulkan kerusuhan politik seperti yang pernah terjadi pada era 1998.

Untuk mengetahui latar belakang pernyataan tersebut dan kriteria pemimpin masa depan seperti apa yang mampu mengatasi isu ketidakadilan, wartawan Media Indonesia, Emir Chairullah dan Susanto, mewawancarai JK di kediamannya, Jakarta, kemarin. Berikut petikannya.

 

Sebagian kalangan menilai pernyataan Anda mengenai ketidakadilan bisa menimbulkan kekerasan dan memancing kerusuhan. Tanggapan Anda?

Itu kan hanya pikiran. Boleh saja berpikiran bahwa pernyataan saya bisa memicu kerusuhan. Tapi mungkin juga (pernyataan saya) justru malah membuat pemerintah menjadi lebih adil.

 

Jadi, Anda tidak setuju disebut melakukan provokasi?

Tidak. Harus diingat, dari 15 konflik kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia, 10 di antaranya akibat ketidakadilan. Contohnya Aceh yang memberontak akibat ketidakadilan. Padahal, wilayah mereka kaya dengan sumber daya alam. Begitu juga dengan PRRI-Permesta yang memberontak karena daerah tidak dimajukan. Jadi, intinya ialah menciptakan keadilan dan menghilangkan diskriminasi.

 

Harapan Anda terhadap pemimpin baru mendatang untuk menghindari kerusuhan akibat ketidakadilan?

Perlakukan negeri ini dan masyarakatnya secara adil. Jangan lupa begitu presiden dan wakil presiden terpilih, dia harus bersumpah akan melaksanakan konstitusi dan semua undang-undang serta melaksanakan pemerintahan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Siapa pun yang terpilih. Karena kalau tidak adil, bakal menimbulkan masalah.

 

Pemimpin seperti apa yang dibutuhkan Indonesia pada Pilpres 2024 untuk mengatasi berbagai persoalan ekonomi dan kesejahteraan sosial saat ini?

Pertama, harus punya pengalaman. Harus diingat Indonesia ini bukan kota kecil, tapi negara besar. (Karena itu) pemimpin negara harus memiliki pengetahuan yang tinggi dan kecakapan dalam memimpin negara ini, termasuk integritas dan track record-nya tentunya.

 

Dalam Rakernas PDIP (kemarin), Presiden Joko Widodo mengatakan akan tetap cawe-cawe untuk menjaga negara dari riak-riak politik. Tanggapan Anda?

Pengertian cawe-cawe itu kan luas. Kalau tujuan Presiden melakukan cawe-cawe dalam artian netral atau wasit yang adil, saya setuju selama dalam konteks pemerintahan yang jujur dan adil karena sumpah seorang presiden ialah menjalankan pemerintahan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Yang tidak boleh ialah cawe-cawe yang berpihak kepada salah satu calon. Itu artinya menjadi wasit yang tidak adil. Salah itu.

 

Termasuk menjegal salah satu calon?

Ya, apa pun. Yang penting harus adil dan tidak berpihak.

 

Mengenai pernyataan Anda bahwa etnik Tionghoa di Indonesia menguasai lebih dari 50% perekonomian nasional, ada yang menilai pernyataan itu membangkitkan sentimen etnik. Bagaimana tanggapan Anda?

Memang iya etnik Tionghoa menguasai lebih dari 50% perekonomian Indonesia. Itu kan fakta. Tidak ada sentimennya. Saya katakan dari 10 orang terkaya di Indonesia, hanya satu orang nonketurunan Tionghoa. Dari 100 orang terkaya di Indonesia, hanya 15 yang bukan nonketurunan Tionghoa. Karena itu, menguasai perekonomian Indonesia dan mereka tidak salah karena bekerja keras dan cerdas. Yang salah justru kita.

 

Jadi bukan membangkitkan sentimen etnik dan memisahkan diri?

Tidak. Justru saya minta kita semua belajar kepada mereka bagaimana bekerja keras. Itu saya bukan hanya bicara. Saya sudah minta pemuda di Dewan Masjid Indonesia (DMI) untuk belajar kepada mereka.

 

Salah satu program pemerintah mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan mengatasi stunting (tengkes). Namun, pemerintah saat ini sepertinya tidak bisa mengatasi target yang sudah ditetapkan. Tanggapan Anda?

Stunting itu akibat gizi yang kurang dan salah satunya akibat kemiskinan. Selama angka kemiskinan tinggi, sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup untuk mengatasi stunting. Jadi, tidak berdiri sendiri. Mungkin ada juga yang tidak miskin, tetapi makanannya tidak sehat, tapi umumnya karena kemiskinan. Karena itu, hal itu menjadi PR bagi pemerintahan mendatang untuk mengatasi angka kemiskinan ini.

 

Salah satu penyebab kemiskinan tinggi ialah sulitnya lapangan pekerjaan. Sementara itu, saat ini juga terjadinya deindustrialisasi dengan mulai ditinggalkannya sektor manufaktur. Menurut Anda, bagaimana melakukan reindustrialisasi agar lapangan kerja semakin banyak?

Pertama ada persoalan membanjirnya produk Tiongkok di dalam negeri dengan harga yang murah. Belum lagi adanya perdagangan bebas, yakni produk dengan harga murah masuk ke Indonesia. Akibatnya, industri lokal yang tidak efisien akan mati. Yang tidak efisien, ya. Ketidakefisienan itu harus segera diatasi. Contohnya, bunga pinjaman yang terbilang tinggi di mana bedanya di Tiongkok hampir 10% cost of fund. Belum lagi, infrastruktur yang disediakan pemerintah Tiongkok sangat memadai. Akibatnya, harga produksinya jauh lebih murah. Itu yang harus segera dibenahi. Karena kalau tidak, sulit bagi produk kita untuk bersaing dalam perdagangan bebas.

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat