visitaaponce.com

Soal Korupsi CPO, Kejagung Jangan Sembarangan Hitung Kerugian Negara

Soal Korupsi CPO, Kejagung Jangan Sembarangan Hitung Kerugian Negara
Ilustrasi(Antara)

Penghitungan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) oleh pemerintah kepada pelaku usaha diminta tidak sembarangan. Menurutnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak bisa secara mandiri menghitung kerugian tersebut karena wewenang itu ada di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Seharusnya tidak sah, karena yang punya otoritas menyatakan negara merugi atau tidak hanya BPK. Dalam hal ini, Kejagung tidak menggandeng BPK," kata Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar melalui keterangan tertulis, Senin (24/7).

Kejagung diketahui hany memanfaatkan penghitungan ahli dalam menentukan kerugian negara dalam persidangan kasus korupsi CPO yang sebelumnya sudah berkekuatan hukum tetap. Hakim sempat tidak setuju dengan data yang dibawa jaksa dalam putusan di persidangan tingkat pertama.

Baca juga: Airlangga Hartarto Pastikan Hadiri Pemeriksaan di Kejagung

Keterangan dari ahli diyakini cuma asumsi yang kurang kuat ketimbang penghitungan BPK dalam mendapatkan data pasti terkait kerugian negara. Oleh karena itu, Kejagung diminta tidak sembarangan dalam pengembangan kasus yang sudah dikembangkan ini.

"Karena unsur yang sangat mempengaruhi terbukti atau tidaknya korupsi adalah kerugian negara. Yang jadi persoalan adalah apakah kerugiannya itu kerugian bisnis atau dicuri secara melawan hukum," ucap Fickar.

Baca juga: Kejagung Harap Airlangga Hartarto Junjung Supremasi Hukum

Kejagung juga diminta berhati-hati dalam pengembangan perkara kasus dugaan korupsi CPO yang saat ini masih diusut. Apalagi, tiga perusahaan pengolah sawit yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group sudah ditetapkan sebagai tersangka.

"Setiap dakwaan korupsi menjadi penting perhitungan kerugian negaranya," ujar Fickar.

Kuasa hukum para tersangka korporasi CPO Marcella Santoso juga meminta Kejagung tidak menggunakan keterangan ahli dalam menentukan kerugian negara. Dia mau data yang dituduhkan berasal dari BPK.

"Frasa dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata atau actual loss, bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara atau potensial loss," ucap Marcella.

Menurutnya, hingga saat ini BPK belum menyelesaikan hasil penghitungan kerugian negara atas kasus korupsi CPO. Padahal, kasus sebelumnya sudah berkekuatan hukum tetap dan Kejagung sudah melakukan pengembangan.

"Hanya BPK yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian negara. Bahkan BPKP pun tidak boleh menyatakan ada tidaknya kerugian negara," ujar Marcella.

Kejagung menetapkan tiga perusahaan sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi minyak goreng terkait pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunnya pada Januari 2021-Maret 2022. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumedana membeberkan kerugian negara dalam perkara itu.
 
Menurut dia, kerugian negara berdasarkan keputusan kasasi dari Mahkamah Agung yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yakni Rp6,47 triliun. (Z-11)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat