visitaaponce.com

Sekolah Dasar dan Menengah Harus Bersih dari Kampanye Politik Praktis

Sekolah Dasar dan Menengah Harus Bersih dari Kampanye Politik Praktis
Alat peraga kampanye berupa partai politik peserta Pemilu 2024(Antara/Yulius Satria Wijaya)

PENGAMAT pendidikan sekaligus Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menegaskan sekolah dasar dan menengah harus bersih dari praktik politik praktis.

Dia menyampaikan tiga tempat yang semestinya netral dan bebas dari kegiatan politik selain rumah ibadah dan rumah sakit ialah sekolah, baik itu mulai dari sekolah pendidikan usia dini hingga tingkat sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA).

“Sekolah bukan tempat yang tepat untuk kampanye, termasuk SLTA. Sekolah itu rawan sekali jadi tempat jual beli suara. Jadi menurut saya jauh dari visi edukasi,” ujar Ubaid kepada Media Indonesia, Selasa (5/9).

Baca juga : Kampanye di Tempat Ibadah hingga Pencalonan Presiden, KPU Gelar Uji Publik 3 PKPU 

Berdasarkan survei dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) tahun 2023 disebutkan bahwa 70 persen jabatan fungsional yang melakukan pelanggaran pada pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepada daerah (pilkada) serentak adalah guru dan dosen.

Data tersebut tentu menjadi bukti bahwa sebelum adanya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang membolehkan peserta pemilu berkampanye di lingkungan pendidikan, pelanggaran di satuan pendidikan itu sudah terjadi.

Baca juga : PP Muhammadiyah Tegas Larang Masjid dan Kampus Jadi Ajang Kampanye

Disebutkan dalam survei KASN itu, jenis pelanggaran netralitas yang dimaksud yaitu kampanye sosialisasi di media sosial oleh guru sebanyak 34,9 persen, mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan sebanyak 27,8 persen, foto bersama calon dan bakal calon 14,5 persen dan menghadiri deklarasi 7,5 persen dan menjadi peserta kampanye sebanyak 4,5 persen.

Faktor pendorong disebabkan adanya kekerabatan atau ikatan persaudaran antara guru dan calon peserta pemilu, serta alasan pragmatis untuk berpindah ke jabatan struktural atau perangkat daerah lainnya.

Ubaid mengatakan masih banyak persoalan dalam dunia pendidikan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Sehingga ia meminta agar satuan pendidikan fokus untuk membenahi yang selama ini masih tertinggal, seperti learning loss akibat pendemi beberapa waktu lalu.

“Sekolah harus fokus ke mutu, jangan ditarik-tarik ke kepentingan politik praktis dukung mendukung. Saya setuju, mereka harus melek politik. Pendidikan politik dan kewarganegaraan (misalnya) itu kan bisa diintegrasikan dengan semua mapel (mata pelajaran), tidak harus dengan menyelenggarakan kampanye di sekolah. Kalau kampenye, itu lebih pada dukung mendukung berdasarkan emosional dan politik identitas biasanya. Ini sangat tidak mendewasakan, bahkan menyesatkan. Ini potensial terjadi di sekolah, jika kampanye masuk sekolah,” tegas Ubaid.

Salah seorang perwakilan guru Buce Wattimena turut membenarkan bahwa saat ini banyak guru yang melakukan politik praktis dan tidak memberi contoh yang baik bagaimana cara berdemokrasi dengan dewasa. 

Dia menyebut guru dan sekolah dalam pemilu beberapa waktu lalu justru turut melanggengkan perpecahan dalam lingkungan sekolah. Bahkan ada yang mencampuradukkan pilihan politik dengan kebijakan di sekolah.

“Beberapa kasus ditemukan perbedaan pandangan politik antara orangtua siswa dan guru, lalu dampaknya pada pemberian nilai siswa. Dari sini saja kita melihat bahwa tanpa aturan MK itu, guru sudah menjadi corong untuk menjerumuskan anak murid. Kalau saya boleh berpesan sebaiknya tidak perlu ada kampanye di sekolah. Jika ingin memberi pendidikan politik di lingkungan sekolah, bisa dengan memberikan mata pelajaran terkait demokrasi dan sejenisnya. Atau melalui praktik pemilihan ketua kelas atau ketua organisasi kepada siswa,” jelas Buce.

Pengurus besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Endang Yuliastuti mengatakan, bersama organisasi profesi guru lainnya menolak keputusan MK terkait kampanye di lingkungan sekolah. Dia mengimbau agar sekolah dan guru tetap mengedepankan sikap netral dan menjaga independesi sekolah dari kepentingan apa pun.

“Sebelumnya kami sudah mengimbau sekolah di seluruh Indonesia, di wilayah NKRI ini bersikap netral. Sekolah adalah tempat yang netral. Kemudian tidak mengikutsertakan siswa di bawah 17 tahun dalam kegiatan tahapan pemilu. Kalau pemilu mulai dari konsep, teori demokrasi, kegiatan, lagu-lagu, pasang stiker, kaos, itu tidak diperbolehkan,” kata Endang.

Selain itu, Endang juga menyampaikan bahwa pihaknya telah menyiapkan mitigasi agar sekolah dan guru menerapkan imbauan PGRI tersebut dengan baik. 

“Pelanggaran pemilu itu banyak sekali di masyarakat dalam pelaksanaannya, ini tidak boleh terjadi di sekolah. Ada saja guru yang tidak memilih siapa, lalu dia dimutasi. Ada siswa tidak menurut dengan gurunya, diberi nilai jelek. Ini tidak boleh terjadi,” ungkap Endang.

Oleh karena itu, untuk menghindari friksi, PGRI memberikan peringatan kepada seluruh guru di bawah kepengurusan PGRI, apabila terjadi pelanggaran, kerusakan fasilitas sekolah, menjadikan proses belajar mengajar terhambat, akan diselesaikan secara hukum.

“PB PGRI sudah meneken tanda tangan dengan kepolisian dan kapolri, ada di tingkat provinsi, kecamatan hingga paling rendah, MoU itu berlaku. Apa pun yang terjadi terkait dengan guru, kita kerja sama dengan kepolisian, apabila penyelenggaraan pemilu ini melukai dunia pendidikan, PGRI akan membaca kembali MoU PGRI dengan kepolisian dan akan memberikan sanksi terhadap pelanggaran tersebut,” pungkasnya. (Z-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat