visitaaponce.com

Tidak Hadir Sidang Bawaslu, Komisioner KPU Dinilai tidak Hormati Institusi Negara

Tidak Hadir Sidang Bawaslu, Komisioner KPU Dinilai tidak Hormati Institusi Negara
Ilustrasi(Medcom.id )

KOMISIONER Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali tak hadiri sidang yang digelar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Selasa (21/11).

Adapun seluruh Komisioner KPU dilaporkan ke Bawaslu lantaran menetapkan daftar calon tetap (DCT) anggota legislatif yang tak memperhatikan kuota keterwakilan perempuan.

Sidang tersebut merupakan laporan yang dilayangkan Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, yang diregistrasi sebagai perkara nomor 010/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/XI/2023.

Baca juga: Suara Gen Z Sangat Strategis di Pemilu 2024

Menanggapi itu, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menegaskan bahwa sikap seluruh Komisioner KPU RI tidak menghormati institusi negara lainnya.

Pasalnya, selain tak menghadiri sidang di Bawaslu, Komisioner KPU RI juga tak menghadiri rapat dengar pendapat dengan DPR RI, pada Senin (20/11).

Baca juga: KPU Bakal Realisasikan Revisi UU Pilkada

“Mereka (Komisioner) lebih mendahulukan kunjungan ke luar negeri dari tugas wajib mereka di dalam negeri,” tegas Ray kepada Media Indonesia, Kamis (23/11).

Ray menyarankan agar dana atau anggaran KPU RI diaudit segera oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

“Mereka juga perlu diundang oleh DPR untuk mempertanyakan keseriusan mereka untuk melaksanakan pemilu ini,” terangnya.

Terpisah, perwakilan koalisi seeta pengamat pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini, menyatakan kekecewaannya terhadap Komisioner KPU.

Pasalnya, terlapor Komisioner KPU hanya diwakili oleh kuasa hukum yang dinilai Titi tak memiliki surat kuasa khusus.

“Karena tidak ada surat kuasa khusus yang kami lihat maka mohon seluruh jawaban terlapor dianggap tidak pernah ada dalam persidangan ini,” tegas Titi, di Bawaslu, Kamis (23/11).

“Kami mengkritik, menyesalkan, dan sangat menyayangkan serta kecewa atas ketidakhadiran terlapor dua kali sidang,” tuturnya.

Titi menyebut dengan adanya fakta persidangan tersebut publik bisa menilai sesungguhnya tidak ada itikad baik dari terlapor untuk menegakkan affirmative action sebagai agenda demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu.

“Jadi dua hal itu mohon kami dipertimbangkan jadi karena tidak ada kuasa khusus, tidak pernah ada jawaban dari terlapor dalam persidangan,” tandasnya. (Ykb/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat