visitaaponce.com

Intimidasi Butet Rusak Demokrasi dan Membangkitkan Memori Orde Baru

Intimidasi Butet Rusak Demokrasi dan Membangkitkan Memori Orde Baru
Seniman Butet Kertaredjasa(ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

DIREKTUR Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai, dugaan intimidasi yang diterima seniman Butet Kertaradjasa merusak iklim hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.

“Tindakan intimidasi itu tak hanya mencederai kebebasan berkesenian, tapi juga merusak iklim hak asasi manusia khususnya hak atas kebebasan berekspresi,” terangnya di Jakarta, Rabu (6/12).

Usman mengungkapkan kebebasan berekspresi, termasuk berkesenian, merupakan hak dasar yang dilindungi konstitusi. “Ini merupakan hak dasar setiap orang yang dilindungi hukum. Pembatasan terhadap seniman hanya akan merugikan perkembangan kebudayaan dan juga partisipasi masyarakat,” lanjutnya.

Baca juga: Polisi Bantah Intimidasi Pertunjukan Teater Butet Kartaredjasa di TIM

Pola seperti itu juga mengingatkan kembali pada apa yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. “Intimidasi kepada seniman ini mengingatkan kita pada era Orde Baru. Kegiatan seni sering menjadi sasaran sensor dan pembatasan. Upaya mengendalikan ekspresi artistik yang kritis bisa dilihat sebagai bentuk kembalinya praktik yang seharusnya ditinggalkan,” tegasnya.

Oleh sebab itu, Usman menyerukan para pihak untuk segera menyetop praktik intimidasi terhadap seminam. Negara juga harus hadir untuk menjamin kebebasan berpendapat para seniman melalui karya-karya mereka.

Baca juga: Dugaan Intimidasi Aparat di Pertunjukan Butet Kertaredjasa, Polisi : Silakan Lapor

“Kami mendesak pihak berwenang untuk segera menghentikan praktik intimidasi terhadap para seniman dan siapa pun warga yang berpikir kritis. Negara harus menjamin kebebasan berkesenian sebagai bagian integral dari kebebasan berekspresi. Segala bentuk ekspresi dalam seni adalah elemen penting dalam membangun masyarakat yang demokratis dan berbudaya,” ujarnya.

Sebelumnya, penulis naskah teater, Agus Noor dan seniman Butet Kartaredjasa diduga mendapatkan intimidasi dari polisi saat menggelar pertunjukan bermuatan satir politik di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Butet diminta menandatangani surat yang mencantumkan komitmen penanggung jawab tidak kampanye pemilu, menyebarkan bahan kampanye pemilu, menggunakan atribut partai politik, menggunakan atribut pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, dan kegiatan politik lainnya.

 

Regresi Demokrasi

Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, aparat kepolisian bersikap berlebihan dalam kasus intervensi pertunjukan seniman Butet Kertaradjasa. Dengan adanya pembatasan, alasan keamanan maupun lainnya, Coki masih berharap akan kebebasan berekspresi dan ruang untuk menyampaikan kritik. 

“Saya melihat ada kegamangan di tubuh aparat keamanan melihat suhu politik yg memanas. Ada kekuatiran situasi politik menjadi tidak terkendali karena pihak yg berkompetisi cenderung menggunakan bahasa verbal yang provokatif dan berpotensi konflik antar pendukung,” ujar pria yang akrab disapa Coki ini di Jakarta, Rabu (6/12).

Sebelumnya, seniman Butet Kartaredjasa mengaku diperintah untuk menandatangani surat pernyataan yang berisi komitmen untuk tidak membahas unsur politik dalam pentas seni "Musuh Bebuyutan" di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Pentas itu adalah agenda tahunan yang digelar oleh Forum Budaya Indonesia Kita yang memasuki tahun ke-41. Tahun ini, tema pentas mengusung pertarungan politik yang terjadi di antara dua pihak yang sebelumnya bersahabat.

“Disinilah mereka mencoba ‘menekan’ para social influencer agar tidak memperkeruh situasi. Tapi cara aparat keamanan itu berlebihan dan justru menimbulkan reaksi balik,” sebut Coki.  

Sosok Butet memang tidak asing dengan intervensi. Namun Coki melihat, jika ada kritik yang disampaikan, tentu memiliki maksud yang baik. 

“Figur seperti Butet memang diketahui kritis dan acap melakukan kritik dalam bentuk satire. Tapi kritik yang dilakukannya untuk membangun tata kehidupan yang lebih baik bukan untuk destabilisasi apalagi berkeinginan menghancurkan,” terang Coki. 

Dengan adanya pembatasan, alasan keamanan maupun lainnya, Coki masih berharap akan kebebasan berekspresi dan ruang untuk menyampaikan kritik. “Memang betul, kita melihat ada regresi dalam kualitas demokrasi saat ini, tapi ini kontekstual. Kekuatan pengimbang tetap memiliki ruang untuk bersuara dan menekankan tuntutan sosialnya.” tutur Coki. (RO/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat