visitaaponce.com

Dirty Vote Menyemai Perlawanan dalam Diam

Dirty Vote Menyemai Perlawanan dalam Diam
Film dokumenter Dirty Vote disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono.(Dok. Dandhy Dwi Laksono)

PENGAMAT politik Ray Rangkuti menilai film dokumenter Dirty Vote mampu menjadi cerminan dari perasaan publik atas kondisi demokrasi terkini. Hal itu terbukti dengan terus bertambahnya jumlah penonton.

"Perasaan dan pandangan yang sama yang menghinggapi puluhan atau bahkan ratusan pemilih Indonesia dalam menghadapi pelaksanaan Pemilu dan Pilpres 2024 ini. Perasaan adanya sesuatu yang tidak beres. Sesuatu yang sebenarnya diketahui tetapi tak sepenuhnya dipahami atau diyakini. Sesuatu yang terasa tapi tak sepenuhnya terucapkan apalagi terungkap," terang Direktur Lingkar Madani Indonesia itu.

Ray menyebut suasana itu muncul dari berbagai praktek yang diduga sebagai pelanggaran pemilu berseliweran di depan mata, tapi tidak dengan berani diungkapkan.

Baca juga : Aktivis di Solo Sebut Film Dirty Vote Tunjukan Perusakan Demokrasi

"Publik, bukan saja merasa terwakili, tapi sekaligus menunjukan keresahan, kegetiran bahkan mungkin perlawanan. Melawan apa yang selama ini dipertontonkan dengan telanjang: keangkuhan kekuasaan, ketiadaan akhlak demokrasi dan penghormatan pada konstitusi dan aturan. Semua, seperti dimonopoli, ditafsirkan sendiri sesuai dengan kepentingan ingin tetap berkuasa," tambahnya.

Ia menyebut film itu sebagai simbol perlawanan dalam diam. "Satu perlawanan yang ditunjukan dengan diam menikmati tayangan. Yang sebenarnya ekspresi awal dari sikap perlawanan publik itu," tandasnya.

Ray menegaskan perlawanan diam itu bisa membesar bila tidak ada kearifan untuk menjawabnya. Sayangnya, pihak terkait justru merespons dengan angkuh.

Baca juga : Di Balik Dirty Vote, Sang Sutradara Dandhy Dwi Laksono

"Alih-alih sikap arif, tapi malah disikapi dengan keangkuhan. Misalnya dengan menyebut gerakan-gerakan moral itu, khususnya yang dilakukan oleh para sivitas akademika, sebagai partisan, tidak ilmiah, bahkan disertai ancaman-ancaman hukum," tukasnya.

Oleh sebab itu, ia menilai perlawanan dalam diam dari para penonton Dirty Vote bisa jadi akan muncul pada saat pencoblosan. "Dan bisa jadi, tanggal 14 kemarahan berikutnya akan terjadi. Berpalingnya pemilih untuk kembali ke nurani masing-masing. Nurani yang pasti menjunjung tinggi akhlak demokrasi," pungkasnya.

Hari Penghukuman

Sementara itu, Direktur RISE Institute, Anang Zubaidi mengatakan,masyarakat telah melihat dan menyadari adanya kecurangan dan pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu kali ini. Karena itu masyarakat dapat mengambil fungsi kontrol dari situasi ini. 

Baca juga : 1 Juta Penonton dalam 8 Jam, 'Dirty Vote' Telanjangi Kecurangan Pilpres 2024

“Kepada siapa pun pemegang amanat untuk tidak bermain-main lain dengan kekuasaan yang diemban karena akan senantiasa dikontrol oleh masyarakat,” ujar Anang.

Berbagai jenis dugaan pelanggaran, kecurangan dan penggunaan kekuasaan, disebut oleh para pegiat demokrasi sebagai TSM. “Terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Terstruktur karena melibatkan aparatur penyelenggara negara dan penyelenggara pemilu. Sistematis karena patut diduga bahwa semua kejadian ini sudah diatur dan dirancang sedemikian rupa. Masif karena terjadi hampir di sebagian besar Indonesia,” Jelas Anang. 

Bagai tak terbendung, penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu dinilai lemah dalam menangani laporan dugaan kecurangan dan pelanggaran, bahkan mengabaikan vonis pelanggaran etika. Sehingga kemudian masyarakat diharapkan memegang kendali atas suara mereka.  

Baca juga : Ini Alasan Film Dirty Vote Dirilis di Masa Tenang Pemilu

“Kita baca dan melihat dengan mata hati, pikiran yang jernih,“ tandas Anang. (Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat