visitaaponce.com

Kekerasan Gender Penyelenggara Pemilu Meningkat Tajam

Kekerasan Gender Penyelenggara Pemilu Meningkat Tajam
Ilustrasi: sosialisasi pencegahan pelecehan seksual.(ANTARA/RIFQI RAIHAN )

KOALISI Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (KMPKP) memaparkan tren kasus kekerasan berbasis gender di lingkungan penyelenggara pemilu yang meningkat tajam.

Direktur Eksekutif Netgrit, Hadar Nafis Gumay, mengungkapkan bahwa pada periode 2017-2022, terjadi 25 kasus kekerasan seksual yang ditangani DKPP. Kemudian, pada 2022-2023, terdapat 4 kasus.

Sedangkan pada 2023, jumlahnya meningkat tajam menjadi 54 perbuatan asusila dan pelecehan seksual yang dilaporkan ke DKPP. Berbagai kasus tersebut terdiri dari pelecehan, intimidasi, diskriminasi, narasi seksis terhadap calon perempuan, kekerasan fisik, hingga kekerasan seksual di ranah privat maupun publik.

Baca juga : Ketua KPU Terbukti Berbuat Asusila, Komnas Perempuan Minta Kuatkan SOP PPKS di Pelaksanaan Pemilu

"Bahkan berdasarkan temuan dari Kalyanamitra, misalnya, terdapat pemaksaan perkawinan dengan motif kepentingan pemilu yang juga ditemukan di Sulawesi Selatan," ujarnya, Jumat (5/7).

Dengan eskalasi kasus yang semakin meningkat, KMPKP menilai putusan DKPP terhadap Ketua KPU Hasyim Asy'ari menjadi langkah tegas sekaligus sinyal kuat untuk terus mengukuhkan dan menjaga konsistensi perlindungan perempuan dalam pemilu. Putusan ini harus menjadi preseden ke depan untuk ditegakkan secara konsisten bahwa tidak ada impunitas terhadap pelaku kekerasan seksual, khususnya pada ranah pemilu.

"Paradigma ini penting agar tidak mengendorkan semangat perempuan untuk menjadi subjek penting dalam aktivitas pemilu di Indonesia, baik sebagai pemilih, penyelenggara, maupun peserta."

Baca juga : Hasyim Asy'ari Terbukti Salah Gunakan Fasilitas Negara saat Dekati Anak Buah

Berdasarkan studi yang telah dirilis Kalyanamitra pada 24 Juni 2024, ditemukan faktor dan akar kekerasan berbasis gender pada Pemilu 2024. Di antaranya adalah ideologi patriarki dan norma gender, stereotip gender, ketimpangan relasi kekuasaan, kurangnya kesadaran dan pendidikan, kurangnya regulasi dan perlindungan, serta impunitas.

Hal tersebut menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemilu memang berpotensi menjadi ruang yang rawan bagi perempuan.

Dalam suatu sistem pemilu, adanya hierarki antar penyelenggara, serta posisi timpang antara penyelenggara dengan para pihak yang terlibat dalam pemilu dapat membentuk suatu posisi relasi kuasa. Posisi tersebut membuat penyelenggaraan pemilu menjadi satu potensi tempat terjadinya kekerasan berbasis gender.

"Kasus ini menjadi pembelajaran ke depan bahwa pelaku kekerasan berbasis gender dalam lingkup pemilu harus diberi sanksi terberat," imbuhnya. (Sru)
 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akmal

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat