visitaaponce.com

Tak Ada Sesuatu yang Baru di Bawah Matahari

Tak Ada Sesuatu yang Baru di Bawah Matahari
(Pata Areadi)

Ilustrasi: Pata Areadi 

SETIAP zaman memiliki kesusahannya masing-masing. Perkembangan sastra acapkali dipengaruhi oleh kebijakan politik, ekonomi, dan sosial-budaya yang berbeda-beda di setiap negara. Globalisasi membawa sebuah arus kesamaan, namun ada pula ketidaksamaan. 

Sastra sebagai salah satu unsur pembentukan kebudayaan sebuah negara sangat penting. Bukan saja sebagai benteng nasionalisme, namun juga jati diri dan karakter pembentukan manusia. Tak mengherankan jika karya sastra di Prancis, Rusia, dan Amerika terus bersinar. Sastra menjadi bagian tak terpisahkan dalam tatanan kehidupan masyarakat sehari-hari mereka di sana. 

Puisi, cerpen, dan roman diketahui bagian dari produk kesusastraan. Perkembangan dan kemajuan sastra dapat diukur melalui jumlah karya yang diterjemahkan ke bahasa asing. Di sini, saya tidak mengkaji tentang kuantitas karya terjemahan. 

Fokus esai ini pada pintu masuknya telaah pascakontemporer (post-contemporary) di Indonesia. Saya mengartikannya sebagai sebuah era yang sudah ada di depan mata. Wajib disampaikan kepada para pembaca di Republik tercinta secara sederhana. 

Di awal bulan ini, wartawan senior Media Indonesia Ade Alawi menghubungi saya dari Jakarta. Ia mengucapkan selamat Tahun Baru 2022. Kebetulan, saya sedang cuti liburan di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur. Walau begitu, saya tetap profesional bekerja secara daring dari rumah. 

Sejak studi di Rusia, saya belum pernah pulang berziarah ke makam para leluhur di Pulau Timor. Untuk itu, di kesempatan Natal dan Tahun Baru kali ini, saya pun mudik sebagai bagian dalam tradisi masyarakat adat Flobamora. 

Kang Ade, sapaan akrabnya, meminta saya untuk menyajikan sebuah esai ringan. Perihal terminologi pascakontemporer. Bagi saya, amanat itu perlu dan wajib dilakukan secara baik. Kebetulan, kajian tentang peradaban budaya sudah saya tekuni selama bermukim dan belajar di Rusia. 

Pascakontemporer sebagai titik tolak menelaah fenomena kebudayaan baru. Lazim dalam dunia arsitektur, filsafat, sosiologi, dan kulturologi. Memahami sejarah dan menulis fenomena di sekitar kita untuk melangkah ke masa depan. Sebuah contoh nyata adalah Monumen Kapsul Waktu di Merauke, Papua. Dirintis oleh Presiden Joko Widodo untuk sebuah masa depan.

Sesungguhnya, Kapsul Waktu itu pintu memasuki era pascakontemporer. Kita menatap ke timur Republik ini sebab di sanalah diletakkan cita-cita generasi muda, dari Sabang sampai Merauke. 

Suatu pagi, saat bola-bola api merah kekuningan kembali muncul. Pasti akan terdengar suara merdu kicauan cenderawasih. Di kesempatan itu, 'puisi-puisi' akan dibacakan. Ya, tak lain berupa cita-cita yang telah ditulis oleh generasi muda kita dan disimpan di perut Monumen Kapsul Waktu. Kelak dibuka pada 2085. 

Dalam kulturologi dan filsafat, munculnya teori postmodernisme untuk menguji kembali modernisme dan post-strukturalisme yang menubruk strukturalisme di abad ke-19 dan ke-20. Perdebatan memang ada, namun harus jernih menanggapinya. 

Sosiolog Prancis Jean Baudrillard (1927-2007) menyebut era postmodernisme (bukan post-contemporary) sebagai era hiperrealitas. Mengapa? Karena ditandai dengan hilangnya rasa realitas. Partikel penyusun fenomena hiperrealitas adalah simulacra, yaitu sesuatu yang tidak ada dalam realitas obyektif. 

Obyek-obyek itu sebagai produknya. Hiperrealitas adalah realitas virtual buatan, yang menurut Baudrillard, bertindak atas realitas nyata dengan cara yang merusak dan berusaha untuk menjadi penggantinya. Dari pandangan Baudrillard, memang tidak ada korelasi antara obyek nyata dan tanda-tandanya. Jika realitas menghasilkan obyek, maka hiperrealitas (hyperreality) hanya mensimulasikan. 

Namun, Baudrillard percaya bahwa arus informasi di era kontemporer menghancurkan realitas. Itu seolah-olah menyelimutinya dengan menciptakan sejumlah besar simulacra. Membentuk hiperrealitas dan menggantikan realitas sejati. 

Kajian-kajian Baudrillard di atas tersaji dalam The Precession of Simulacra, Ann Arbor, University of Michigan Press, 1994. Telaah ilmiah itu telah memunculkan perdebatan di antara kaum terpelajar. Terutama, pada strata doktoral di perguruan tinggi Amerika, Prancis, Rusia, dan lain-lain. 

Fakta keberadaan masyarakat dalam kondisi hiperrealitas merupakan semacam penghargaan terhadap globalisasi dan era postmodern. Proses penggantian atau superimpose hyperreality pada realitas menunjukkan tahap pembiasan zaman modern dan postmodern di benak masyarakat sebagai penggantian konsep "realitas". 

Kajian secara ilmiah memang telah dilakukan. Hiperrealitas, menurut Baudrillard, mencirikan situasi ketika fenomena kebenaran, kecukupan, dan realitas berhenti dianggap sebagai berbasis ontologis dan dijadikan fenomena tatanan simbolis¹. 

Di era kontemporer ini, kita dapat menemukan contoh hiperrealitas. Dalam seni rupa (terutama pop art), dalam film (Zombieland), dan media (berita bombastis dan fake news), serta masih banyak realitas dalam kehidupan masyarakat hari-hari ini. 

Sama di bawah matahari 

Sajak Kofe, 'warung puisi pascakontemporer Indonesia'. Slogan ini memang iseng dan lucu-lucuan, tapi sebaliknya serius. Saya mengucap terima kasih sebab slogan tersebut telah memunculkan berbagai pertanyaan netizen +62 di media sosial, baik facebook, twitter, maupun instagram

Untuk menjawab istilah pascakontemporer itu, sesungguhnya sederhana dan mudah. Ecclesiastes 1:9 menyatakan 'tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari'. Pascakontemporer hanyalah satuan era atau zaman setelah kontemporer. Artinya, secara keilmuan suatu zaman baru akan tiba. Gitu aja kok repot! Meminjam selirik kalimat humor ala Gus Dur. 

Dalam berbagai literatur, seni post-modernisme mengacu ke berbagai kategori seni kontemporer dibuat sejak 1970 hingga seterusnya. Tanda kaum post-modernist dalam seni adalah penolakan dari estetika seni modern (1870-1970). 

Salah satu nilai yang ditolak adalah ide seni adalah sesuatu yang 'khusus' seharusnya ditinggikan dari selera populer. Polemik berkembang untuk menuntun kita kembali membuka buku-buku dan menuangkan ide-ide cemerlang. 

Contoh sederhana lagi. Pada perayaan 21 tahun Metro TV, slogan yang ditampilkan redaksi berbunyi; 'Kebersamaan Memberi Arti'. Slogan itu jika saya terapkan ke dalam diri pribadi saya bisa artinya; 'Kesendirian Memberi Arti'. 

Dua hal tersebut sama logis. Tergantung pada bagaimana kita membaca dan memaknainya. Artinya, sebagai makhluk sosial saya butuh orang lain. Sebaliknya, sebagai makhluk individu saya butuh privasi atau hak dasar hidup. 

Dunia pascakontemporer mau tidak mau harus terus diperbincangkan.

Desas-desusnya sudah terasa seabad silam. Puisi pascakontemporer hanyalah istilah. Tidak begitu penting dalam puisi sebab puisi memiliki gaya, bentuk, dan estetika. Saya sepaham bahwa puisi klasik adalah pencapaian tertinggi estetika sastra. Begitu pula, saya juga setuju bahwa seni abstak (abstract art) adalah pencapaian maha puncak dalam seni rupa. Terpenting, puisi akan terus dikolaborasikan dengan teknologi atau apapun mediumnya. 

Saya beruntung berguru dan berilmu dengan sejumlah guru besar di Rusia. Sekadar menyebut beberapa nama, antara lain filolog Prof Vilen Sikorski, kulturolog Prof Alexander Kamenetz, dan filsuf Dr Grigory Kuzmenko. Di tanah air, saya menimba ilmu dari seorang guru 'wayang' Ono Sarwono. 

Istilah umum pascakontemporer sebagai sebuah konsep, awalnya dijelaskan oleh penyair Italia Primo Levi (1919-1987). Namun, penggunaan istilah secara spesifik pertama kali barulah didokumentasikan pada 2005 lewat obrolan antara Abbas Gharib dengan Bahram Shirdel. Mereka berdua adalah arsitek asal Iran.

Begitu lihai dan mahir dalam budaya barat dan kerap mengikuti debat yang sengit. Dari percakapan keduanya maka diterbitkanlah esai di Majalah Sharestan². Diskusi Gharib dan Shirdel terkait milenium ketiga sektor kreatif di dunia arsitektur. Proyeksi spesifik pada konfigurasi avant-garde, menuju masa depan. Meski masih dalam konsep arsitektur, namun istilah pascakontemporer menyebar ke berbagai bidang lainnya. Termasuk, seni rupa, teater, dan sastra. 

Perbincangan-perbincangan tentang pascakontemporer juga begitu kuat pada diskusi panel pada 9th Berlin Biennale for Contemporary Art, 2016. Saat itu, moderatornya adalah Armen Avanessian. Terjadi perdebatan sengit, namun ditanggapi secara santai dan kelakar di antara para mahasiswa doktoral, dosen, dan seniman. 

Tak hanya itu, perbincangan tentang pascakontemporer juga tercuat pada ajang bergengsi Future Theatre Festival di Moskwa, Rusia, pada 22-29 Februari 2020. Para pelaku teater, teoretikus, aktor, dan kritikus berkumpul. Saya kebetulan ikut hadir sebagai pendengar atas undangan rekan penyair sekaligus kurator Rusia Darya Petrova pada Future Theatre Festival. Para pelaku seni berkumpul membincangkan dan mendiskusikan kondisi teater masa depan. 

Mereka memprediksi kemungkinan situasi perteateran dunia pada 2030 mendatang. Petrova sendiri mengupas tentang media puisi di era digital dan kemungkinan perubahan bentuk dan wadah puisi di masa depan. Sangat menarik dan membuka pemikiran para peserta diskusi. 

Pertemuan, baik komunitas kecil maupun kampus sangat penting. Sesungguhnya, bukan barang baru bagi Sajak Kofe dibawah payung Media Indonesia, mengangkat tema puisi pascakontemporer Indonesia. Toh, sudah dimulai di negeri-negeri seberang sejak Levi, Gharib, Shirdel, Avanessian, sampai Petrova. 

Era pascakontemporer itu sudah biasa disinggung dalam pelbagai perdebatan dan diskusi. Memang, akan sulit bagi kita, terutama seniman, pemerhati, dan kurator autodidak untuk memahami terminologi tersebut. Perlu kepala dingin untuk menikmatinya secara baik. 

Pertama, akan terjadi salah pengertian jika tidak dibekali dengan referensi dan telaah pustaka. Kedua, terjadi segregasi bagi mereka yang autodidak dan bukan autodidak. Dan ketiga, pengalaman berbeda-beda di kalangan budayawan dan sastrawan dalam mendulang informasi sastra dari luar negeri. 

Pikiran jernih

Sajak Kofe sebagai ruang ekspresi bersama bagi semua pecinta puisi. Selalu menampung pikiran terbuka dan jernih. Tidak ada tendensius menjadikan Sajak Kofe sebagai wadah eksklusif sebab pembaca adalah tuan besar. 

Kebetulan, diskusi pascakontemporer dimulai dari dunia arsitektur dan menjalar ke berbagai bidang³. Ya, ada baik juga untuk menggumandangkan istilah tersebut di Republik ini. Intinya, setiap puisi baik bentuk, tema, maupun gaya akan selalu beradaptasi. Kita menyambut hari esok, diam di tempat, atau kembali ke belakang. Semua itu pilihan. 

Bangsa ini pasti memiliki mimpi besar untuk ikut mendukung sastra Indonesia menuju ke panggung Nobel dunia. Kita tahu nama Pramoedya Ananta Toer pernah diusulkan sebagai calon kuat. Nilai-nilai perjuangan kemanusiaannya wajib ditiru dan dilanjutkan. Bukan waktunya lagi mencibir sesama pesastra dan mencari musuh bersama. 

Barangkali, daya magis dunia kesusastraan kita berbeda dibandingkan kesusastraan Rusia atau Prancis. Di Rusia, mendiang penyair Aleksander Pushkin sangat dihormati sebagai Bapak Sastra Rusia. Begitu pula di Prancis, masyarakat sangat menghargai karya-karya sastra Patrick Modiano, sang peraih Novel Sastra 2014. 

Terlepas dari itu semua, ada kabar sukacita. Sastra Indonesia sangat digemari di berbagai negara. Termasuk, perguruan tinggi di Rusia yang sudah lama membuka program studi Bahasa Indonesia sejak era Presiden Sukarno. Pengajaran itu tersebar, seperti di Universitas Negeri Moskwa, Universitas Negeri St Petersburg, dan Akademi Diplomasi Kementerian Luar Negeri Rusia. 

Prof (Madya) Dr Victor Pogadaev, peneliti sastra Indonesia dan Malaysia di Rusia, misalnya, mengajarkan Bahasa Indonesia di Akademi Diplomasi, Moskwa, secara serius namun santai. Lagu-lagu daerah Ambon, Batak, dan Sunda selalu diperdengarkannya kepada murid-murid di kelas. Mereka tekun belajar dan berdiskusi. 

Kebebasan berpikir menjadi penting dalam proses kerja kreatif. Sebagaimana pesastra Rusia Fyodor Dostoyevsky (1821-1881) pernah mengatakan; “Chtob umno postupat — odnogo uma malo." «Prestupleniye i Nakazaniye». Terjemahannya kira-kira begini; “Untuk bertindak bijak — sebuah pikiran tidaklah cukup.” Dalam novel Kejahatan dan Hukuman

Puisi selalu ditulis dan dibacakan secara sukacita. Tantangan terberat kita adalah mengalahkan keinginan daging dalam diri sendiri. Era pascakontemporer sesungguhnya sudah di depan pintu. Mudah dipahami dengan pikiran jernih. Monumen Kapsul Waktu di Papua adalah bukti peradaban masa depan. Puisi itu kehidupan; aku, kamu, dan hari esok. (SK-1) 

 

Baca juga: Sajak-sajak Trivonia Leltakaeb
Baca juga: Peradaban Indonesia di Kapsul Waktu
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia

 

Catatan kaki: 
¹ Jean Baudrillard, 1982, Modernité, in La modernité ou l’esprit du temps, Biennale de Paris, Section Architecture. Paris: L’Equerre. 
² Abbas Gharib dan Bahram Shirdel. Diskusi Antara Dua Arsitek, Majalah Sharestan 15–6, Teheran, Iran: Sharestan/Naghshiran, Musim Semi – Musim Panas 2007, 11–16, (7–12 dalam bahasa Persia). 
³ Hilde Heynen, 2000, Architecture and Modernity: A Critique. Massachusetts: MIT Press, hlm 8-24. 

 

 

 


Iwan Jaconiah, editor puisi Media Indonesia, penyair Indonesia pertama peraih Diploma of Honor Award pada helatan X International Literary Festival "Chekhov Autumn-2019" di Yalta, Republik Krimea, Federasi Rusia. Buku terbarunya kumpulan puisi Hoi! (Terbit Press, 2020). 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat