visitaaponce.com

Sang Penopang Seniman Muda Bali

Sang Penopang Seniman Muda Bali
KURATOR: Pekerja seni Agung Yudi berpose di Agung Rai Fine Art Gallery, Ubud, Bali, Senin (13/2).(MI/Iwan Jaconiah )

Agung Yudi berkomitmen tinggi untuk mengangkat karya para pelukis muda Ubud ke panggung seni lukis nasional dan dunia. 

BAGI pekerja seni Anak Agung Gede Yudi Sadona atau yang lebih akrab dikenal Agung Yudi, seni lukis Bali memiliki kekhasan tersendiri. Unsur ritus dan tradisi yang melekat dalam tatanan masyarakat setempat telah menjadi magnet bagi pecinta seni rupa untuk melirik karya-karya di Pulau Dewata. 

Yudi telah menekuni dunia seni lukis sejak kecil. Namun sebagai pribadi yang matang, ia mentah-mentah menolak ketokohan ayahnya, budayawan Agung Rai, sebagai gurunya. Malahan, Yudi mendapatkan ilmu seni lukis dari seorang pamannya bernama Agung Ari. 

“Saya terlahir dari keluarga yang menyukai seni lukis. Banyak orang menganggap bahwa saya dipengaruhi bapak. Saya boleh bilang bahwa itu salah. Guru saya bukan bapak, melainkan  paman yang sejak kecil membimbing saya,” ujarnya di Agung Rai Fine Art Gallery, Ubud, Bali, Senin (13/2) pagi. 

Pagi itu, Yudi membawa saya untuk melihat-lihat koleksi-koleksi di galerinya. Kini, ia kelola bersama tiga stafnya. Lokasi galeri pun terpisah dari Agung Rai Museum of Art (ARMA). Jika menggunakan motor hanya memakan waktu 5-10 menit. 

Galeri seni rupa itu unik karena menempati rumah-rumah tradisional Bali. Ada kesan bagi siapapun yang berkunjung ke ‘galeri rakyat’, itu. “Bung Iwan sudah ngopi belum? Kita ngopi dulu ya,” tanya Yudi sembari berkisah tentang koleksi yang ada di galerinya. “Boleh, sambil ngobrol santai di sini,” timpal saya. 

Sambil menyulut sebatang rokok ditemani secangkir kopi, Yudi mengaku seni rupa Bali pascapandemi mulai berangsur pulih. Kelebihan Ubud sebagai destinasi wisata dunia telah memberikan dampak positif bagi kehidupan seniman muda setempat. 

Dalam kesenian, lelaki kelahiran Peliatan, Ubud, 14 September 1980, itu mula-mula mempelajari seni tari saat usia sekitar 10 tahun. Namun, Yudi merasakan suasana batin yang berbeda sehingga kemudian ia menekuni seni lukis secara swadidik di saat beranjak remaja. 

Namun, aktivitas melukis baginya kurang begitu ia tekuni sebagai pelukis profesional. Ia pun memutuskan untuk menjadi kurator sekaligus kolektor karena darah yang mengalir dari keluarga besarnya. Untuk menentukan lukisan pun, ia lebih fokus kepada karya-karya pelukis pendatang baru. 

Yudi sendiri menyelesaikan pendidikan S1 di jurusan Sastra Inggris, Universitas Udayana (tamat 2006). Ia sempat mengikuti kursus bahasa asing di Melbourne, Australia, pada 2004-2005. Setelah tamat, Yudi pun mulai bekerja di ranah seni rupa sebagai kurator tetap di Agung Rai Fine Art Gallery. 

Kehausan akan ilmu pengetahuan, membawa Yudi lalu memutuskan untuk melanjutkan studinya di ranah seni. Sejak 2022, ia telah melanjutkan ke jenjang pendidikan S2 program studi Penciptaan dan Pengkajian Seni, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. 

Baginya, pendidikan menjadi unsur yang sangat penting dalam menunjang profesi di dunia galeri dan museum yang telah dijalani selama ini. “Banyak ilmu saya dapat di lapangan, namun harus diimbangi dengan sisi akademis. Saya merasakan pendidikan itu bermanfaat untuk membuka cakrawala berpikir,” papar pengagum maestro Ahmad Sadali (24 Juli 1924 – 19 September 1987), itu. 

Martabat pelukis muda 

Sebagai seorang pekerja seni, Yudi memilih dunia seni lukis karena merasa terpanggil. Sudah 10 tahun, ia fokus untuk mengangkat dan menopang seniman-seniman muda Bali yang berkualitas di sekitar Ubud. 

Hal itu ia lakukan agar karya seniman lokal dapat diterima di pasar seni lukis nasional dan dunia. “Generasi bapak (Agung Rai) yang tua-tua semua. Berbeda dengan saya yang hanya mencari karya pelukis yang muda-muda,” ungkapnya, sumringah. 

Bagi Yudi, bekerja di galeri sangat berbeda dengan di museum. Di galeri, sehari-hari ia menganalisis karya-karya seniman muda dengan berbekal pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Menggunakan indra perasaan dan insting dalam menilai baik atau buruknya sebuah karya berkualitas. 

Dalam sebulan, rata-rata ada 10 sampai 50 karya lukis yang masuk dan keluar. Hal itu menjadikan Yudi untuk tetap optimistis di dalam melihat dan membaca pergerakan pasar seni lukis kontemporer Bali khususnya dan Indonesia umumnya. 

“Di galeri, ada tantangan karena saya mengangkat nama-nama pelukis muda yang belum diketahui publik. Karya-karya mereka sangat kuat, baik tema maupun teknik. Unsur tradisi Bali telah memberikan sentuhan berbeda bagi seniman muda di sini. Ini tantangan sebab sebuah karya seni nilainya tak terduga,” jelasnya merujuk kepada geliat pasar seni rupa pascapandemi kini. 

Pasar seni lukis pascapandemi berangsur normal, namun Yudi meyakini bahwa sebagai pekerja seni maka perlu kesabaran untuk melihat peluang pasar ke depannya. Baginya, hal penting yang harus dibangun ialah jaringan dalam memasarkan karya-karya seni ke kolektor. 

Tugas pelukis muda ialah mengabadikan nilai-nilai di atas kanvas agar tradisi Bali tidak sirna atau hilang dari muka bumi ini

Lewat galerinya, Yudi telah memberi dukungan nyata kepada sederet nama. Sebut saja, Made Griawan dan Wayan Nengah. Baginya, generasi muda harus mendapatkan tempat spesial agar kelak dapat sejajar dengan pelukis-pelukis dunia lainnya. “Griawan mampu menghadirkan teknik tradisional Bali, namun out of the box,” nilainya. 

Karakter tradisional, semisal Batuan Bali, memang menjadi pedoman. Namun, sentuhan kontemporer juga tak dapat dipisahkan oleh seorang seniman karena gerakan seni rupa selalu mengikuti perkembangan zaman. “Lukisan seniman-seniman Bali sangat spesifik, namun Griawan sangat lihai karena ia menuangkan unsur kebebasan berpikir ke dalam berkarya-karyanya,” papar suami dari Anak Agung Sri Mas Hendrani, itu. 

Kespesifikan tak lain ialah corak warna dan obyek yang ada dalam karya-karya Griawan. Sehingga membuat si pelukis adakalanya kewalahan untuk menentukan sendiri bagus atau tidaknya. Meski begitu, Yudi mengakui bahwa identitas Bali dalam karya tidaklah boleh hilang di dalam karya-karya generasi muda itu. 

Tanpa disadari, globalisasi telah memberikan dampak menyeluruh ke berbagai negara-negara. Tugas pelukis muda ialah mengabadikan nilai-nilai di atas kanvas agar tradisi yang sudah berakar selama berabad-abad di Bali tidak sirna atau hilang dari muka bumi ini. 

Yudi mencontohkan, karya pelukis legendaris Ida Bagus Made “Poleng” (1915-1999), misalnya, masih menjadi buruan kolektor asing. Apalagi, karya Poleng pernah dikoleksi oleh Bung Karno. “Saya memberikan dorongan kepada pelukis muda untuk mencontohkan Poleng. Pasar seni Bali akan bagus jika ada kebanggaan dari senimannya sendiri,” akunya. 

Nama Ubud telah mendunia di sektor pariwisata. Hal itu menjadi sebuah magnet untuk ikut menggeliatkan perkembangan seni lukis kontemporer. Yudi hadir sebagai sosok kharismatik yang selalu tekun, berani, dan pandai dalam mengangkat pelukis-pelukis muda Bali untuk mampu berjaya. 

Matahari kian meninggi. Di ujung perbincangan santai, Yudi meminta salah satu stafnya untuk membelikan nasi bungkus spesial. Udara masih terasa segar. Burung-burung bersiulan memecah lalu-lalang kendaraan di jalanan saat kami bersama meninggalkan galeri. (SK-1) 

Baca juga: Kuyup di Arus Hidup
Baca juga: ARMA dan Spiritualisme Ubud
Tonton juga: Kolaborasi Sajak Kofe dengan Kotak Band


Iwan Jaconiah, penyair, editor puisi Media Indonesia, dan penulis buku seni rupa Lukisan Wiwik Oratmangun, Pentas Grafika, Jakarta (2022). Dalam dunia perpuisian, ia didapuk sebagai pesastra Indonesia pertama peraih Diploma of Honor Award untuk puisi Bumi pada X International Literary Festival «Chekhov Autumn» di Yalta, Krimea, Rusia (2019) dan Diploma Award untuk puisi Langit Pasifik pada International Poetry Festival «Taburetka» di Monchegorsk, Murmansk Oblast, Rusia (2017). 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iwan Jaconiah

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat