visitaaponce.com

Perjalanan Berlusconi dan AC Milan 30 Tahun Bawa Kejayaan untuk Rossoneri

Perjalanan Berlusconi dan AC Milan: 30 Tahun Bawa Kejayaan untuk Rossoneri
Mantan pemilik AC Milan Silvio Berlusconi(AFP/ Alberto PIZZOLI)

MANTAN Presiden AC Milan Silvio Berlusconi meninggal dunia di usia 86 tahun. Mantan perdana menteri Italia itu merupakan sosok yang kontroversial, flamboyan, sekaligus apik. 

Berlusconi berkiprah di AC Milan sejak 8 Juli 1986 hingga 2017. Selama itu, ia berhasil membawa Rossoneri, yang sebelumnya telah terdegradasi ke Serie B dua kali, dan menghadapi potensi kebangkrutan, menuju puncak kejayaan–meskipun pada tahun-tahun akhir kekuasaannya, AC Milan mengalami penurunan, baik prestasi maupun permainan. 

Di bawah wewenang The Knight, AC Milan berhasil meraih 8 gelar Serie A, 1 Coppa Italia, 6 Supercoppa Italia, 2 Piala Interkontinental, 5 Liga Champions, 5 Piala UEFA Super Cup, dan 1 Piala Dunia Antarklub. 

Baca juga: Sebelum Meninggal Dunia, Silvio Berlusconi Sempat Jalani Perawatan Medis Leukemia

Mengenang Silvio Berlusconi, MediaIndonesia.com merangkum hal-hal yang menjadi sorotan dalam karirnya bersama AC Milan, selama kurang lebih 30 tahun. 

Menunjuk Sacchi

Di musim pertamanya sebagai pemilik AC Milan, klub tersebut berhasil finis pada posisi kelima di Seri A dan tersingkir di babak ke-16 Coppa Italia oleh Parma. 

Kegagalan tersebut, membuat Berlusconi memutuskan meminang Arrigo Sacchi sebagai pelatih klub. Keputusan tersebut kontroversial dan ditentang. Sebab, Sacchi sama sekali belum pernah menjadi pemain sepak bola profesional, dan karier kepelatihannya minim–dengan klub Rimini di Seri C1, dan Parma di Seri B. 

Menjawab kritik yang mendulang tersebut, Sacchi pernah menyahut, “Saya tidak pernah menyadari, bahwa untuk menjadi seorang joki, kamu harus menjadi kuda terlebih dahulu.”

Baca juga: Mantan Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi Meninggal Dunia 

Keputusan Berlusconi meminang Sacchi, terbukti tepat. Debutnya di San Siro berujung pada perolehan scudetto pertama bagi AC Milan setelah 9 tahun. Di musim itu, Milan juga hanya mencatatkan kekalahan 2 kali, dalam 30 pertandingan. 

Sacchi secara masif merevolusi Milan. Dengan taktik progresifnya, ia memperkenalkan konsep garis pertahanan tinggi, zonal marking, dan juga pressing. 

Merajai Eropa

Pascapenunjukan Sacchi, AC Milan punya tujuan. Yaitu Eropa. Berlusconi sadar bahwa pelatih tidak bisa melakukan keajaiban. Oleh karena itu, ia mendatangkan pemain.

Pada 1987, Berlusconi mendatangkan Marco Van Basten dan Ruud Gullit, dengan 1 musim setelahnya yaitu Frank Rijkaard. Trio asal Belanda ini menjadi andalan dan memegang peran penting bagi Milan maupun Sacchi. 

Tidak lupa juga pemain asal Italia. Nama seperti Mauro Tassotti, Alessandro Costacurta, Franco Baresi, dan Paolo Maldini, menjadi fondasi tidak terkalahkannya AC Milan. 

Bersama dengan Carlo Ancelotti, Rijkaard berhasil menguasai lapangan tengah Milan. Sedangkan duo Baresi dan Maldini, memastikan Milan tetap aman. Dimana kombinasi Basten dan Gullit, menciptakan kerja sama penyerangan yang luar biasa. 

Pada masa itu, AC Milan tampak tidak terbendung. Mereka berhasil mengalahkan Real Madrid dengan skor 5-0, dan Barcelona dengan skor 4-0. Rossoneri berhasil menyabet tiga gelar Liga Champions pada musim 1988/1989, 1989/1990, dan 1993/1994. 

Tidak terkalahkan 

Kendati pencapaian yang luar biasa di Eropa, AC Milan tidak sementereng itu di liga domestik, Seri A. Dalam 3 tahun, antara 1988 hingga 1991, AC Milan mengakhiri musim tanpa perolehan scudetto. 

Berangkat dari itu, Berlusconi akhirnya memutuskan untuk membawa talenta baru, seperti Sebastiano Rossi, Zvonimir Boban, Daniele Massaro, dan Marco Simone. 

Tidak ketinggalan, hengkangnya Sacchi pada 1991–karena memutuskan untuk menjadi pelatih Timnas Italia– membuat Berlusconi membawa nama baru ke Rossoneri, yaitu Fabio Capello. 

Dengan Capello, Milan berhasil memenangkan scudetto musim 1991/1992 tanpa kekalahan. Begitu pula di musim selanjutnya. 

Melihat hal ini, Berlusconi lebih semangat lagi membawa nama baru. Ia mengamankan tanda tangan pemain, seperti Dejan Savicevic, Jean-Pierre Papin, dan Gianluigi Lentini, yang dengan harga 13 juta Euro, berhasil memecahkan rekor transfer pada saat itu. 

Bersama Capello, Milan berhasil mencatatkan 58 pertandingan tanpa kalah, dan dijuluki sebagai “Gli Invincibili” atau “Tak Terkalahkan”. Sederhananya, AC Milan tidak punya saingan di Seri A pada saat itu. 

Bukan hanya di liga domestik, AC Milan juga mencatatkan penampilan yang hebat di Eropa, dengan berhasil memenangkan Liga Champions, berhadapan dengan Barcelona di bawah maestro Johan Cruyff. Tidak tanggung-tanggung, Milan melibas habis Barca dengan skor 4-0.

Dituduh Internisti

Dalam kariernya, Berlusconi bukan hanya menerima tuduhan skandal seksual, penggelapan pajak dan kasus korupsi. Namun, ia juga dituduh sebagai Interisti–sebutan bagi penggemar klub Inter Milan–yang notabene adalah rival sejati dan abadi AC Milan. 

Namun, pada 2004, Berlusconi meluruskan tuduhan tersebut. “Saya tidak pernah menjadi penggemar Inter, kamu tidak dapat mengubah agamamu,” ujarnya dikutip dari Tuttosport. 

Walaupun dalam beberapa laporan menyebut, pada awal 1980, Berlusconi memang berencana membeli Inter. Namun, akhirnya berlabuh pada rival sekota. 

Istanbul dan balas dendam

Berlusconi juga menjadi saksi sejarah dalam pertandingan legendaris di Istanbul melawan Liverpool. Malam bersejarah pada 25 Mei 2005 itu, meninggalkan luka bagi Rossoneri. Kekalahan lewat adu penalti, menyusul skor imbang 3-3 menjadi lebih menyakitkan, sebab AC Milan yang sejak awal telah memimpin pertandingan dengan skor 3-0. 

Namun, AC Milan akhrinya mendapatkan kesempatan balas dendam 2 tahun berikutnya, di Yunani. Klub berhasil mengangkat trofi bergengsi itu, di bawah kepemimpinan Carlo Ancelotti. 

Runtuhnya kejayaan

Kehebatan Berlusconi juga memiliki batas. Dalam tahun-tahun terakhirnya dengan AC Milan, tidak ada perubahan dan juga pembaharuan dalam skuat. Hal ini, yang membuat Milan yang dulu berjaya, akhirnya runtuh. 

Berlusconi tidak mau disalahkan sendiri. Pada 2009, saat Milan  finis di posisi ketiga, Berlusconi mengungkapkan kepada media, bahwa kondisi yang dihadapi Milan adalah imbas dari Ancelotti yang tidak kompeten. 

“Kita tidak berhasil meraih titel, karena Ancelotti. Sering kali kita tidak menggunakan taktik yang benar. Padahal, Milan punya banyak penggiring (bola) yang bagus, dan seharusnya menjadi aset, malah sebaliknya,” ungkap Berlusconi. 

Beberapa bulan kemudian, Ancelotti dicopot, dan digantikan oleh Massimiliano Allegri. 

Allegri berhasil meraih trofi Seri A pada 2011, namun akhirnya dipecat pada musim 2013/2014. Selanjutnya, Berlusconi memilih Vincenzo Montella untuk menggantikannya. Ternyata, itu bukan jawaban untuk masalah Milan. 

Kendati mengganti pelatih, pemain hebat namun berusia tua, seperti Seedorf, Inzaghi, dan Cristian Brocchi, AC  Milan tidak kunjung diregenerasi. Hal ini membuat Rossoneri tidak berkutik. 

Dalam 3 tahun kepemimpinan terakhirnya, pada 2014 hingga 2017, Milan meraih posisi ke delapan, sepuluh, dan tujuh di Seri A. Periode ini menjadi masa terburuk Berlusconi sejak 1986. 

Meskipun keputusan yang tidak tepat, yang membuat Milan terpuruk pada tahun tahun akhirnya, Berlusconi masih memiliki tempat di hati para rossoneri. Investasi, petualangan dan ambisi 30 tahun menjadi warisan Berlusconi dengan AC Milan. (Z-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat