visitaaponce.com

Teknik Apik dan Formula Generik dalam Smile

Teknik Apik dan Formula Generik dalam Smile
Adegan dalam film Smile.(Dok. Paramount Pictures)

Parker Finn datang dengan cerita horor supernatural-psikologi di debut penyutradaraan film panjangnya, Smile.

Film yang naskahnya juga ditulis Finn ini sebenarnya perpanjangan dari ide film pendek SXSW-nya, Laura Hasn’t Sleep. Di Smile, Finn menengahkan tema trauma yang belum tuntas oleh psikiater Rose Cotter (Sosie Bacon).

Saat ia berusia 10 tahun, Cotter menemukan jasad ibunya yang bunuh diri terbaring di ranjang. Trauma yang dibawanya sepanjang usianya itu kembali muncul saat ia menyaksikan di depan mata adegan tragis dari bunuh dirinya pasien yang tengah ditanganinya.

Sejak peristiwa itu, trauma yang melingkupi Rose mengambil alih kehidupannya. Ia mulai diteror oleh halusinasi-halusinasi yang membuat ritme hidupnya menjadi kacau.

Dalam perubahan drastis itu, tidak ada orang dari lingkungan dekatnya yang mampu memercayai Rose. Termasuk tunangannya, Trevor (Jessie T. Usher). Apa yang dialami Rose, dianggap sebagai akibat dari trauma masa kecilnya.

Padahal, Rose mengalami lebih dari itu. Ia merasa diteror dari kekuatan supernatural yang mengancam nyawanya. Ia pun kemudian mengalami hal-hal seperti yang dilihat belakangan oleh si pasien yang bunuh diri di hadapan Rose. Hanya mantan pacar Rose, Joel (Kyle Gallner), polisi yang juga menangani kasus bunuh diri pasien Rose.

Joel menemani Rose menyelidiki lingkaran kutukan yang menyebabkan orang yang menyaksikan bunuh diri secara langsung bakal menyusul kematian korban. Ini mungkin mengingatkan pada horor lawas medio 2000-an, The Ring, atau One Missed Call, yang sama-sama meneror korban selanjutnya dari kutukan lewat medium tertentu. Di Smile, medium kutukan yang menular itu adalah bunuh diri. Semakin keji adegan bunuh diri yang disaksikan, semakin menyulut kutukan ke korban selanjutnya.

Finn mungkin mendapat dukungan baik secara garapan artistik. Mulai dari sinematografi yang diarahkan Charlie Sarroff, dengan sudut-sudut 180 derajat untuk memunculkan nuansa jungkir balik visualnya. Mungkin sekilas akan mirip dengan pembuka film Midsommar, tetapi angle kamera yang dipilih itu bukan sekali muncul. Menjadi repetisi dan membentuk pola gambar. Menegaskan motif yang ingin ditunjukkan.

Sementara secara palet warnanya, dalam sudut-sudut tertentu, Smile serupa Vivarium, horor milik Lorcan Finnegan yang mampu menghadirkan teror misteri dari warna pastel hijau rumah-rumah yang berderet. Seperti di rumah sakit yang memunculkan palet pastel seperti merah muda atau biru, tapi suasananya kontras dengan latar warnanya.  Di sudut lain, Smile menghadirkan warna-warna suram ala horor pada umumnya.

Formula generik horor di Smile juga masih ditemukan, meski secara artistik tergarap dengan apik. Soal tema trauma yang belum tuntas itu, tertaut dengan sosok perempuan yang menjadi kekuatan supranatural di film ini (sosok ibu Rose). Sosok hantu ibu yang bertaut dengan trauma Rose, kemudian menjadi horor utama yang mengambil alih thriller sepanjang film. Membawa babak menuju resolusi menjadi pertentangan antara tokoh utama film dengan hantu ibu. Seperti kebanyakan horor-horor lain. 

Smile tayang di jaringan bioskop Indonesia. (M-2) 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irana Shalindra

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat