visitaaponce.com

Perempuan di Seluruh Dunia Berjuang Melawan Disinformasi Gender

Perempuan di Seluruh Dunia Berjuang Melawan Disinformasi Gender
Sejumlah pemimpin perempuan yang jadi korban serangan disinformasi gender. Dari Michele Obama hingga Ibu Negara Ukraina Olena Zelenska(various sources / AFP)

Tahun lalu, foto Ibu Negara Ukraina Olena Zelenska yang sedang berbaring telanjang dada di sebuah pantai di Israel dibagikan secara luas di Facebook. Foto itu memicu kritik bahwa dia bersenang-senang sementara rakyat di negaranya tengah menderita dilanda perang

Namun, berdasarkan penelusuran pemeriksa fakta global AFP, perempuan di foto itu sebenarnya adalah seorang presenter televisi Rusia. Foto-foto palsu yang menunjukkan ibu negara Ukraina itu adalah salah satu dari serangkaian disinformasi yang sengaja disebarkan untuk mendiskreditkan perempuan.

Para peneliti mengatakan disinformasi gender (ketika seksisme dan misogini bersinggungan dengan kebohongan online) gencar menargetkan perempuan di seluruh dunia, telah menodai reputasi, merusak kredibilitas dan, bahkan dalam banyak kasus menghancurkan karier mereka.

Pemeriksa fakta global AFP telah menyanggah sejumlah kebohongan yang menargetkan perempuan yang aktif secara politik, atau mereka yang terkait dengan politisi terkemuka, dan mengungkap kampanye online yang menampilkan informasi palsu atau gambar yang dimanipulasi yang sering kali bermuatan seksual.

Mantan ibu negara Amerika Michelle Obama dan ibu negara Prancis saat ini Brigitte Macron juga telah menjadi sasaran dalam sebuah postingan palsu yang mengklaim bahwa mereka dilahirkan sebagai laki-laki. Disinformasi ini memicu ejekan dan komentar transfobia.

Jacinda Ardern dari Selandia Baru, yang mengumumkan pengunduran dirinya sebagai perdana menteri pada Januari lalu, adalah tokoh terkemuka lainnya yang menghadapi serangan disinformasi tentang jenis kelaminnya.

“Perempuan, terutama mereka yang berada di posisi kekuasaan, terlalu sering menjadi sasaran disinformasi online,"  tulis Maria Giovanna Sessa, seorang peneliti senior di DisinfoLab, lembaga nirlaba Uni Eropa, dalam sebuah laporan tahun lalu, seperti dikutip AFP, Jumat (24/3)

Efek mengerikan

Dalam kasus lain pada tahun 2020, sebuah video gerak lambat yang menampilkan Nancy Pelosi, Ketua DPR AS saat itu, menjadi viral karena dalam video itu membuat ucapannya tidak jelas dan memberikan kesan seolah dia sedang mabuk.

“Membangun stereotip seksis dan disebarluaskan dengan niat jahat, kampanye disinformasi gender memiliki efek mengerikan pada perempuan yang jadi sasaran," tulis Lucina Di Meco, pakar kesetaraan gender dalam sebuah penelitian yang diterbitkan bulan lalu.

“Disinformasi sering mengarah pada kekerasan politik, kebencian, dan penolakan terhadap perempuan muda yang mempertimbangkan untuk berkarier di politik," kata studi berjudul Monetizing Misogyny.

Dalam taktik disinformasi yang biasanya digunakan oleh lawan politik, politisi perempuan kadang-kadang dibingkai (dikonstruksi) sebagai tidak dapat diandalkan, terlalu emosional, atau sembarangan ketika memegang jabatan.

Ketika menteri luar negeri Jerman saat ini, Annalena Baerbock, mencalonkan diri sebagai kanselir pada tahun 2021, dia sering menjadi sasaran kampanye disinformasi yang menimbulkan keraguan tentang kemampuannya. Salah satunya menampilkan foto perempuan telanjang yang mengaku sebagai dirinya, disertai tuduhan dia telah terlibat sebagai pekerja seks.

Disinformasi gender mewakili ancaman keamanan nasional karena dapat dieksploitasi oleh negara-negara otokratis seperti Rusia untuk menggunakan pengaruh asing, menurut beberapa peneliti. Cara itu juga dapat digunakan untuk menaklukkan oposisi.

"Ketika para pemimpin otokratis berkuasa, disinformasi gender sering digunakan oleh aktor-aktor yang berpihak pada negara untuk melemahkan pemimpin oposisi perempuan, serta hak-hak perempuan," laporan Di Meco memperingatkan.

Serangan terhadap martabat

Serangan diisinformasi terhadap perempun ini bertujuan untuk memperkuat stereotip bahwa mereka tidak cerdas atau tidak efisien.

Pada tahun 2021, misalnya,  atlet menembak asal Mesir Al-Zahraa Shaaban diisukan dikeluarkan dari Olimpiade Tokyo karena dia menembak wasit.  Berita palsu itu memicu gelombang komentar yang mencemooh perempuan dan mempertanyakan kemampuan mereka untuk melakukan aktivitas olahraga semacam itu.

Komentar seksis yang merendahkan semacam itu juga terjadi ketika sebuah jet tempur F-35 jatuh di sebuah di geladak kapal induk AS di Laut China Selatan. Postingan palsu di media sosial menyatakan pilot perempuan pertama di dunia yang menerbangkan F-35 bertanggung jawab atas kecelakaan itu. Padahal, pilot sebenarnya adalah seorang pria.

Kebohongan yang memalukan seperti itu, kata para peneliti, dapat memiliki efek membungkam perempuan, yang tertarik untuk melepaskan diri, menyensor diri mereka sendiri, dan bahkan menghindari profesi yang didominasi laki-laki, termasuk dalam dunia politik.

Kekhawatiran itulah yang diangkat dalam sebuah petisi oleh sejumlah anggota parlemen AS dan internasional pada tahun 2020 ke Facebook, yang bersama dengan platform lain dinilai telah mengamplifikasi algoritmik dari konten palsu dan penuh kebencian yang menargetkan perempuan.

Dalam sebuah pernyataan kepada media AS saat itu, Facebook mengakui bahwa pelecehan perempuan secara online adalah masalah serius dan berjanji untuk bekerja sama dengan pembuat kebijakan terkait masalah ini.

"Jangan salah, taktik ini, yang digunakan di platform Anda untuk niat jahat, dimaksudkan untuk membungkam perempuan, dan pada akhirnya merusak demokrasi kita. Tidak heran banyak perempuan yang enggan terjun ke dunia politik karena alasan ini,” kata petisi tersebut. (AFP/M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat