visitaaponce.com

Sunat Perempuan Adalah Diskriminasidan Kekerasan

Sunat Perempuan Adalah Diskriminasi dan Kekerasan
Ilustrasi kekerasan seksual(Dok.MI)

MASALAH kekerasan terhadap perempuan dan anak tak pernah ada habisnya. Meski sempat ada harapan bernama Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), penanganannya masih saja pelik. Salah satu yang masih kian marak terjadi ialah sunat perempuan yakni praktik pemotongan pembukaan genetalia perempuan (P2GP) atau khitan alat kelamin pada bayi perempuan tanpa memandang kelas sosial.

Komisioner Komnas Perempuan Wanti Mashudi mengatakan mengacu pada data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan terbaru, sebaran praktek kasus pemotongan pembukaan genetalia perempuan (P2GP) di Indonesia tertinggi masih ada di sekitar 10 provinsi.

“Praktik P2GP paling tinggi terjadi di provinsi Gorontalo, Bangka Belitung, Banten, Kalimantan Selatan, Riau, Jawa Barat, Sulawesi Barat, Jambi, Sumatera Barat dan NTB. Praktik itu dilakukan dengan berbagai metode baik itu menggoreskan, menusuk hingga memotong alat kelamin perempuan,” ujarnya.

Baca juga : Ancaman Kekerasan terhadap Perempuan di Masa Depan Semakin Kompleks

Sementara itu, data terbaru dalam survei pengalaman hidup perempuan Nasional oleh Kementerian pemberdayaan perempuan tahun 2021 yang dilakukan dengan metode sampel pada berbagai responden perempuan usia 14 - 59 tahun, masih mendapati angka 21,3% masyarakat Indonesia yang melakukan praktek P2GP.

“Sebanyak 33,7% praktik P2GP atau sunat perempuan dilakukan secara simbolis. Artinya, praktik ini memang masih terjadi hingga hari ini meskipun proporsinya lebih banyak dilakukan secara simbolis,” jelas Wanti.

Makna dari praktik P2GP sebagai simbol ini menurut Wanti memiliki arti bahwa saat melakukan sunat pada kelamin bayi perempuan, tidak terjadi pelukaan atau pemotongan, tetapi secara simbolis itu hanya menggores saja artinya lebih tinggi daripada yang terjadi secara permukaan dalam kriterianya WHO.

Baca juga : Komnas Perempuan: Kekerasan Berlapis Kerap Dialami Perempuan Pekerja

Kendati demikian, jika praktik P2GP ini melukai dan memotong, hal itu merupakan suatu tindak kekerasan pada perempuan karena ada bentuk dari kelamin yang diubah dan dilukai. Tetapi, dikatakan Wanti bahwa jika bentuknya adalah simbolis, itu adalah diskriminasi.

“Bagaimana pun alasan di balik dilakukannya P2GP itu cenderung bertujuan untuk membuat perempuan menjadi baik dalam melayani suami, agar bisa menahan rasa seksualnya, tidak murahan dan sebagainya,” ujarnya.

Wanti menjelaskan Komnas Perempuan selalu memberi edukasi dan menyampaikan kepada publik bahwa kedua praktik P2GP tersebut harus dihapuskan. Bagaimanapun, praktik ini memiliki dampak buruk secara medis bagi bayi perempuan maupun ketika mereka sudah dewasa.

Baca juga : Kasus Kekerasan Meningkat, Banyak Korban Perempuan Keberanian Melapor

“Hal ini tentu bisa saja menimbulkan infeksi dan merusakkan organ reproduksi sehingga menjadi permasalahan jangka panjang. Apalagi, jika praktik P2GP dilakukan oleh dukun atau orang yang tidak memiliki pendidikan secara medis, nursery lebih berbahaya karena petugas itu tidak mengetahui bagian organ intim, sehingga berpotensi merusak organ intim lebih intensif,” ungkapnya.

61% P2GP Terjadi sebelum Anak Perempuan Berusia 4 Bulan

Hasil penelitian Komnas Perempuan tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 61% praktik P2GP terjadi sebelum anak perempuan berusia 4 bulan, sebanyak 36,1% terjadi antara usia 4 bulan hingga 3 tahun. Praktik ini dapat menyebabkan kerusakan organ intim.

Baca juga : Hari Buruh, Perlindungan Pekerja Perempuan Perlu Diperkuat

“Dalam temuan Komnas Perempuan, praktik P2GP terbagi dalam beberapa tipe, yang banyak ditemukan iala tipe 1A dan tipe 4. Dalam hal ini, tipe 1A adalah praktik P2GP akan memotong sebagian klitoris atau ujung dari klitoris kemudian menggores atau menusuk bagian alat genital,” ungkapnya.

Wanti menyebut bahwa ada resiko yang harus dihadapi bagi orangtua jika menolak praktik P2GP ini. Selain seluruh keluarga besar akan terus menekan, anak perempuan yang tidak dikhitan boleh jadi akan menerima stigma sebagai bukan perempuan baik-baik. Hal itu diperparah dengan dogma agama yang keliru.

“Ada pengaruh dari tokoh agama yang mengatakan bahwa itu perintah agama. Faktor penyebab masih adanya praktek P2GP di masyarakat ini adalah sebanyak 92% yang mendasari keputusan ini adalah pemahaman agama. Praktik ini dianggap sebagai perintah ajaran agama dan tokoh agama yang kemudian dilakukan secara turun-temurun,” ujarnya.

Baca juga : Perempuan di Seluruh Dunia Berjuang Melawan Disinformasi Gender

Menurut Wanti, praktik ini juga banyak ditawarkan secara bebas di internet dengan medikalisasi promosi yang berdalih bahwa praktek P2GP ini untuk kepentingan perempuan, menjadikan perempuan lebih sehat dan sebagainya yang sejatinya praktek-praktek itu justru menyesatkan.

“Lebih jauh lagi, orang yang melakukan khitan adalah dukun atau tenaga kesehatan. Banyak dari orang tua di wilayah pedesaan yang memegang bayinya tidak tahu apa yang dilakukan dukun karena tubuh bayi dari bawah pusar ke bawah ditutup kain dan kepala dukun masuk di bawahnya,” tandasnya.

Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Pencegahan P2GP

Baca juga : Hati-hati Kekerasan Dalam Pacaran

Sementara itu, Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Rohika Kurniadi Sari mengatakan bahwa pihaknya telah menyusun Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Pencegahan P2GP pada tahun 2021 yang memuat peran dan tugas berbagai stakeholder.

“Kami telah menggandeng Kementerian Agama untuk memberi edukasi bahwa pemotongan kelamin pada perempuan tidak dianjurkan, lain halnya dengan pemotongan kelamin pada laki-laki yang dianjurkan agama,” ujarnya.

Selain itu, Rohika mengatakan KemenPPPA sebagai salah satu leading sector dalam upaya perlindungan perempuan dari praktik P2GP juga telah memiliki kertas kebijakan yang disusun dengan Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama, serta kementerian Kesehatan.

Baca juga : Komnas Perempuan Kecewa Soal Penundaan RUU PPRT

“Kebijakan tersebut memuat rekomendasi untuk melakukan pencegahan secara lebih masif. Terutama agar hal ini bisa diselipkan di materi sekolah menengah atau perguruan tinggi untuk mencegah praktik P2GP tersebut,” jelasnya.

Melihat praktik P2GP ini, Rohika mengatakan pihaknya bukan hanya bekerja pada konteks pencegahan kasus, melainkan juga perlindungan, penanganan dan pemulihan bagi bayi perempuan maupun perempuan dewasa yang mengalami dampak buruk akibat praktik P2GP.

“Upaya penanganan dan pemulihan juga penting, bagaimana praktik ini akan berdampak panjang. Ketika sudah dewasa dan berdampak pada kehidupan seorang perempuan maka seperti apa penanganannya itu juga menjadi penting,” tandasnya. (Dev/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat