visitaaponce.com

Pameran Terobos Suguhkan Inklusivitas Seni Dalam Praktik Keseharian

Pameran Terobos Suguhkan Inklusivitas Seni Dalam Praktik Keseharian
Karya dari Komunitas Ruang Reda(MI/Devi Harahap)

DUNIA seni seringkali diasosiasikan oleh sesuatu yang mewah, mahal, rumit, ekspresionis dan transaksional sehingga dimaknai secara sebatas sebagai komoditas karya yang dipajang di dalam ruang pameran galeri dan museum. 

Padahal, bagi sebagian masyarakat, seni adalah sesuatu yang inklusif, seperti hidup dan dekat dengan praktik keseharian, bisa dijangkau dan dinikmati oleh segala lapisan masyarakat secara bebas, tanpa harus dibatasi oleh teori-teori yang menguras pikiran. 

Narasi tersebut mengemuka dalam pameran dan diskusi seni bertajuk “Terobos: Daya Ubah Seni dan Kemandirian Pikiran” yang diselenggarakan Akademi Jakarta (AJ) di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Senin (24/7).

Pameran dan diskusi tersebut menghadirkan 4 komunitas seni dari berbagai kalangan yang berbasis di Bandung, Jawa Barat. Komunitas tersebut terdiri dari eks-Bioskop Dian, Ruang Reda, Sanggar Olah Seni Babakan Siliwangi, dan Ima Budaya Cigondewah.

Para pelaku seni ini berasal dari berbagai latar belakang seperti warga kota, ibu rumah tangga, dan anak-anak. Mereka menggunakan seni sebagai media utama untuk menerjemahkan persoalan-persoalan yang mereka hadapi, mengarsipkan ingatan, sebagai proses healing, saling belajar, maupun sebagai pengikat untuk kesadaran kebersamaan.

Anggota AJ, Melani Budianta, mengatakan makna seni seringkali direduksi menjadi komoditas untuk dijual atau dipamerkan yang hanya dibatasi oleh para seniman dan kolektor. Pada pameran ini, seni bisa disajikan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari serta representasi dari cara berpikir, laku hidup, serta nilai dan norma.

”Seni itu tidak selalu harus dianggap sesuatu yang tinggi dan sulit dijangkau karena seni itu untuk semua orang. Seni tidak hanya untuk memuaskan diri sendiri, tapi (untuk) membangun masyarakat yang seperti apa. 4 komunitas ini bisa memperkenalkan seni lewat pendekatan yang menjelma langsung dari kehidupan sehari-hari,” ungkapnya. 

Salah satunya ialah Komunitas Ruang Reda, berdiri atas inisiatif 10 perempuan yang merupakan ibu muda dan sering menghabiskan waktu untuk mengurus pekerjaan domestik. Bagi mereka, seni bisa menjadi alternatif wadah untuk berkomunitas dan menerjemahkan kehidupan domestiknya dalam bentuk cerita, lukisan dan puisi.

“Yoko ono bilang bahwa seni itu bilang bisa membuat kita bertahan dan memang itu yang kita rasakan bahwa seni bisa membantu kami dalam bertahan hidup dari tantangan sehari-hari. Seni jadi aktivitas kami untuk meredakan diri dari kehidupan domestik yang sibuk sekali,” ucap Ami Juandi Husin selaku perwakilan dari Ruang Reda.

Baca juga: Imajinasi Cinta Nana

Meski terkadang para anggota tak selalu memiliki waktu dan jarang bertemu karena padatnya pekerjaan domestik, mereka secara kreatif tetap berkarya lewat sebuah buku sketsa yang dikerjakan bersama dengan mengirim buku itu dari satu anggota ke anggota lain. Mereka juga menyempatkan diri berkumpul secara daring dan luring untuk saling berbagi cerita dan merencakan pameran. 

Ada pula komunitas Rumah Budaya Cigondewah yang terdiri dari para buruh perempuan yang menyuguhkan seni dengan mengolah bahan tekstil bekas industri menjadi sebuah karya seni berupa gambar-gambar dengan teknik jahitan dalam bentuk bingkai.

Selain itu, hadir pula komunitas Olah Seni Babakan Siliwangi yang menjadi wadah bagi anak-anak muda dalam berkesenian. Sementara itu, ada juga Komunitas Bekas Bioskop Dian yang menyuguhkan kehidupan masyarakat marginal lewat seni fotografi di ruang-ruang alternatif. 

Menurut Wahyu perwakilan dari Komunitas Bekas Bioskop Dian, masyarakat bisa lebih melebur pada pameran di ruang-ruang publik yang seringkali dianggap pinggiran. Ruang tersebut menjadi ruang aman bagi seniman dan masyarakat yang ingin mengakses seni, tetapi enggan karena citra seni yang ketinggian.

“Kami merasa bahwa ruang seni mapan tidak memberikan ruang aman untuk berekspresi, melainkan jadi ruang intimidasi yang begitu superior. Kami ingin seni punya daya dobrak agar bisa disukai dan bisa tumbuh bersama masyarakat,” katanya. 

Sementara itu, Anggota AJ, Tisna Sanjaya yang juga memboyong para komunitas ke pameran “Terobos” ini mengatakan bahwa seni sejatinya bisa tumbuh di berbagai ruang dengan melibatkan berbagai subjek dan objek, yang lebih filosofis bagi Tisna, seni bisa menjadi alat yang humanis untuk melawan kekuatan kapitalis di era modern. 

Menurut Ketua AJ Seno Gumira Ajidarma, seni bisa jadi murah sekaligus vital, seperti udara. Seni bisa pula menjadi media untuk menerjemahkan persoalan di depan mata, seperti isu domestik, memanfaatkan ruang terlantar sehingga menjadi gelanggang kebudayaan, mengarsipkan ingatan, dan menjadi media perubahan.

Tak hanya pameran, acara berlanjut dengan perbincangan terkait Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisyahbana bertajuk “Menaksir Kemandirian Pikiran untuk Menemukan Haluan" oleh Risa Permanadeli.

Pada kesempatan itu, Risa mengemukakan pentingnya masyarakat Indonesia berpikir kritis dan mandiri khususnya dalam mengadopsi nilai-nilai kemajuan Barat untuk membangun peradaban. 

“Kita sering kali melupakan bahwa masih ada nilai-nilai kearifan lokal yang harus dilestarikan untuk pembangunan bangsa ini, ya kita memang banyak belajar dari Barat dan negara-negara lain, tapi jangan sampai kita tenggelam dalam modernitas itu,” tuturnya.(M-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat