visitaaponce.com

Kisah Anak-anak Penambang Emas di Venezuela

Pada usianyayang  sudah menginjak 10 tahun, Martin (bukan nama sebenarnya) tidak dapat membaca, namun ia mahir mendeteksi jejak emas yang ia dan sepupu-sepupunya gali di sebuah tambang terbuka di tenggara Venezuela. Di Kota El Callao, menggali emas dari dalam tanah awalnya merupakan permainan anak-anak, namun segera menjadi pekerjaan utama mereka.

Tubuh kecil mereka memudahkan untuk meluncur ke dalam sumur galian yang sempit untuk mencari barang berharga tersebut. Di Venezuela, emas semakin bernilai seiring anjloknya produksi minyak di negara itu.

Martin adalah satu dari sekitar seribu anak di wilayah tersebut yang terlibat dalam penambangan emas ilegal, sebuah industri yang berkembang pesat di negara kaya sumber daya alam yang telah terpukul oleh berbagai krisis ekonomi.

Namun, keterlibatan anak-anak pada aktivitas pertambangan ini dikecam oleh para aktivis hak asasi manusia. Mereka menilai itu sebagai eksploitasi yang berbahaya, terutama zat merkuri.

Martin  tinggal di El Peru, sebuah dusun terdekat. Dia belum pernah bersekolah. Carlos Trapani dari LSM hak-hak anak Cecodap, mengatakan bahwa pekerjaan yang melelahkan dan bahaya yang terkait dengan aktivitas pertambangan itu  telah menjadi “normal” di komunitas-komunitas ini.

Meskipun demikian, Martin mengaku lebih memilih mencari emas daripada bersekolah. “Ayah saya mengatakan bahwa uang berasal dari pekerjaan,” katanya kepada AFP, dalam sebuah wawancara yang diberikan atas persetujuan orang tuanya.

“Dengan uang yang saya peroleh di sini, saya bisa membeli barang-barang saya inginkan; sepatu, pakaian, dan terkadang permen,” ujarnya lugu.

Menurut universitas swasta Katolik UCAB di Guyana yang bertetangga dengan Venezuela, sekitar seribu anak bekerja di pertambangan ilegal di wilayah tersebut.

“Ini masalah kelangsungan hidup,” kata Eumelis Moya, koordinator kantor hak asasi manusia di universitas tersebut.

Venezuela telah mengalami krisis ekonomi yang serius sejak tahun 2013, yang menurut para ahli disebabkan oleh kesalahan manajemen politik, sanksi AS, dan ketergantungan yang berlebihan pada cadangan minyak mentah mereka.

PDB negeri telah menyusut sebesar 80%, dan hiperinflasi telah mengikis daya beli. Sekitar tujuh juta dari 30 juta penduduk negara ini telah eksodus untuk mencari kehidupan yang lebih baik di tempat lain.

Pada 2017, Presiden Nicolas Maduro berjanji untuk menyelamatkan perekonomian negaranya dengan berfokus pada sumber daya mineral lainnya. Menurut dia negaranya bisa memiliki cadangan emas terbesar di dunia.

Sejak saat itu, terdapat apa yang disebut oleh International Crisis Group sebagai “bonanza pertambangan ilegal” di bagian selatan negara tersebut, dimana kelompok kriminal – termasuk gerilyawan Kolombia – menjalankan sebagian besar operasinya dan menebar teror di komunitas lokal.

“Saya takut ketika penembakan dimulai dan ada banyak orang tewas,” kata Gustavo, seorang penambang muda lainnya, berusia 11 tahun.

Menurut laporan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada tahun 2021, sebagian besar emas yang diperoleh penambang kecil pada akhirnya berakhir di tangan militer dan elite politik setempat.

Meracuni lingkungan

Pada bulan Juli lalu, Maduro memerintahkan pengerahan angkatan bersenjata untuk mengusir penambang ilegal, dan menghancuran beberapa kamp mereka.

Penambangan tersebut – yang sebagian besar terjadi di Amazon Venezuela – telah menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat adat.

Di beberapa wilayah Venezuela, termasuk Kota El Callao,  emas digunakan sebagai mata uang dalam bisnis lokal, bukan bolivar (mata uang Venezuela) yang tidak stabil.

Namun, anak-anak di Venezuela, yang mencakup sepertiga penduduk, adalah pihak yang paling terkena dampak krisis ini. Banyak di antara mereka yang ditinggalkan setelah orang tua mereka berimigrasi. Beberapa sekolah negeri hampir tidak berfungsi karena rendahnya gaji guru.

Trapani mengatakan ketika krisis ekonomi mencapai puncaknya pada tahun 2018, bukan hanya anak-anak sekolah yang terpaksa bekerja di pertambangan, namun juga para guru yang telah kehilangan pekerjaan.

Seorang ibu di wilayah itu mengatakan bahwa anak-anaknya tidak kembali ke sekolah setelah lockdown akibat Covid-19, namun ia berharap suatu saat nanti mereka akan kembali bersekolah. (AFP/M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat