visitaaponce.com

Konflik Timur Tengah dan Krisis Informasi di Media Sosial

Konflik Timur Tengah dan Krisis Informasi di Media Sosial
Elon Musk, pemilik X yang dulu bernama Twitter(Alain JOCARD / AFP)

Ketika gerakan reformasi di dunia Arab (Arab Springs) merebak hampir satu dekade lalu, Twitter memiliki peran penting dalam peristiwa itu, terutama dalam penyebaran informasi secara real time. Namun, reputasi media sosial tersebut telah melemah setelah bertransformasi menjadi magnet bagi ujaran kebencian dan disinformasi di bawah kepemilikan Elon Musk.

Secara historis, kekuatan terbesar Twitter adalah sebagai alat untuk mengumpulkan dan menyebarkan informasi serta mengoordinasikan bantuan darurat selama masa krisis.

Kini platform tersebut, yang berganti nama menjadi X setelah diakuisisi Musk, telah menghilangkan moderasi konten, memulihkan akun ekstremis yang sebelumnya dilarang, dan memungkinkan pengguna cukup membeli verifikasi akun, sehingga membantu mereka mendapatkan keuntungan dari unggahan yang viral -- namun sering kali tidak akurat.

Konflik Israel-Gaza yang sedang memanas menjadi ujian nyata pertama bagi platform versi Musk selama krisis politik ini. Banyak ahli menyatakan hal ini telah menjadi ketakutan terburuk mereka, dengan semakin sulitnya untuk membedakan kebenaran dari fiksi.

“Sungguh menyedihkan, meski tidak mengejutkan, melihat keputusan Musk yang ceroboh telah memperburuk krisis informasi seputar konflik Israel-Hamas yang sudah tragis,” kata Nora Benavidez, penasihat senior di lembaga pengawas Free Press, kepada AFP.

Platform ini dibanjiri dengan video dan gambar kekerasan –sebagian betulan, namun banyak pula yang palsu.

Menurut sebuah studi baru yang dilakukan oleh lembaga pengawas NewsGuard, hampir tiga perempat dari unggahan paling viral yang mempromosikan kebohongan tentang konflik tersebut didorong oleh akun-akun dengan tanda centang terverifikasi.

“Dengan tidak adanya pagar pembatas, hal ini membuat sangat sulit bagi masyarakat untuk memisahkan fakta dari fiksi, sekaligus meningkatkan“ketegangan dan perpecahan,” tambah Benavidez.

Hal ini terlihat pada Selasa lalu  setelah serangan mematikan terhadap sebuah rumah sakit di Gaza yang dilanda perang, ketika pengguna biasa berebut informasi real-time melampiaskan rasa frustrasi karena situs tersebut menjadi tidak dapat digunakan.

Kebingungan merajalela ketika akun palsu dengan tanda centang terverifikasi membagikan gambar konflik lama, sambil menarasikan kesimpulan tergesa-gesa dari video yang belum terverifikasi. Hal ini menggambarkan bagaimana platform tersebut telah menyerahkan ‘megafon; kepada pelanggan yang membayar, terlepas dari keakuratannya.

Akun-akun yang menyamar sebagai sumber resmi atau media berita memicu kemarahan dengan konten yang menghasut.

Peneliti misinformasi memperingatkan bahwa banyak pengguna memperlakukan akun kelompok aktivis yang disebut "ruang perang Israel", yang diberi tanda centang emas -- yang menunjukkan "akun organisasi resmi", menurut X -- sebagai sumber resmi Israel.

 

Menurut para peneliti, akun bot yang berbasis di India yang terkenal dengan retorika anti-Muslim semakin memperkeruh keadaan dengan mendorong narasi palsu anti-Palestina.

Sirus berita resmi Al Jazeera juga menjadi korban pencatutan. Mereka menegaskan tidak memiliki hubungan dengan akun yang berbasis di Qatar yang secara keliru mengklaim afiliasi mereka dengan stasiun televisi Timur Tengah tersebut dan mendesak para pengikutnya untuk “berhati-hati.”

“Menjadi sangat menantang untuk menavigasi arus informasi – ada siklus berita yang tiada henti, dorongan untuk mengklik, dan peningkatan kegaduhan,” kata Michelle Ciulla Lipkin, kepala Asosiasi Nasional untuk Pendidikan Literasi Media, kepada AFP.

“Sekarang jelas bahwa Musk melihat X bukan sebagai sumber informasi yang dapat diandalkan, melainkan hanya salah satu usaha bisnisnya,” tegasnya.

Kekacauan ini sangat kontras dengan peristiwa Arab Spring pada tahun 2011 yang memicu gelombang optimisme di Timur Tengah mengenai potensi platform tersebut untuk menyebarkan informasi otentik, memobilisasi komunitas, dan meningkatkan cita-cita demokrasi.

Kini keadaan malah sebaliknya. Platform X justru menimbulkan kekacauan. “Gangguan fungsi dasar situs ini mengancam akan menghambat atau mengganggu respons kemanusiaan,” ujar para ahli memperingatkan.

Organisasi-organisasi kemanusiaan biasanya mengandalkan platform-platform tersebut untuk menilai kebutuhan, menyiapkan rencana logistik, dan menilai apakah suatu wilayah aman untuk mengirimkan petugas pertolongan pertama.

”Para eneliti hak asasi manusia juga menggunakan data media sosial untuk melakukan penyelidikan terhadap kemungkinan kejahatan perang, “kata Alessandro Accorsi, analis senior di Crisis Group.

“Banjir informasi yang salah dan pembatasan yang diterapkan X pada akses yang memungkinkan pengembang pihak ketiga mengumpulkan data platform sosial, telah mempersulit upaya tersebut,” kata Accorsi kepada AFP.

Tidak menanggapi

Sejauh ini X tidak menanggapi permintaan komentar AFP. Kepala eksekutif perusahaan Linda Yaccarino telah memberi isyarat bahwa platform tersebut masih serius mengenai kepercayaan dan keamanan, dan bersikeras bahwa pengguna bebas menyesuaikan pengaturan akun mereka untuk memungkinkan berbagi informasi secara real-time.

Namun para peneliti menyuarakan pesimisme. Menurut mereka situs tersebut telah mengabaikan upaya untuk mengangkat sumber berita terkemuka. “Sebaliknya, program bagi hasil iklan baru dengan pembuat konten memberikan insentif pada konten ekstrem yang dirancang untuk meningkatkan keterlibatan,” kata para kritikus.

Pat de Brun, kepala Akuntabilitas Teknologi Besar di Amnesty International mengatakan X harus menggunakan semua tools yang tersedia, termasuk penerapannya.(AFP/M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat