visitaaponce.com

Cuaca Panas Diperkirakan akan Membunuh Lebih Banyak Orang pada 2050

Cuaca Panas Diperkirakan akan Membunuh Lebih Banyak Orang pada 2050
Suhu di Sao Paulo, Brasil yang tercatatat mencapai 40 derajat celsius pada Senin (13/11)( Miguel SCHINCARIOL / AFP)

JIKA akhir-akhir ini Anda tidak tahan merasakan cuaca yang begitu panas, itu belum seberapa. Para ahli memperkirakan, pada beberapa dekade mendatang hampir lima kali lebih banyak orang kemungkinan akan meninggal akibat panas ekstrem ini.  Sebuah tim ahli internasional memperingatkan tanpa tindakan nyata terhadap perubahan iklim, kesehatan umat manusia berada dalam risiko besar.

Menurut The Lancet Countdown, sebuah laporan tahunan yang dilakukan oleh para peneliti dan lembaga terkemuka, panas yang mematikan hanyalah salah satu dari banyak dampak penggunaan bahan bakar fosil yang terus meningkat di dunia yang mengancam kesehatan manusia.

Menurut laporan tersebut meskipun ada seruan untuk melakukan tindakan global, emisi karbon yang terkait dengan energi mencapai titik tertinggi baru pada tahun lalu. Mereka menyoroti masih besarnya subsidi pemerintah dan investasi bank swasta pada bahan bakar fosil yang dapat memanaskan bumi.

Para peneliti memperingatkan kekeringan yang lebih sering terjadi akan menyebabkan jutaan orang berisiko kelaparan, nyamuk yang menyebar lebih luas akan membawa penyakit menular, dan sistem kesehatan akan kesulitan mengatasi beban tersebut.

Pemantau iklim Eropa menyatakan bahwa bulan lalu adalah bulan Oktober terpanas yang pernah tercatat. Laporan penelitian terbaru ini dilansir menjelang perundingan iklim COP28 di Dubai akhir bulan ini. Dubai juga untuk pertama kalinya akan menjadi tuan rumah “hari kesehatan” pada 3 Desember ketika para ahli mencoba menyoroti dampak pemanasan global terhadap kesehatan.

Krisis di atas krisis

Tahun lalu orang-orang di seluruh dunia rata-rata terpapar suhu yang mengancam jiwa selama rata-rata 86 hari, menurut studi Lancet Countdown. Sekitar 60% dari hari-hari tersebut dua kali lebih mungkin terjadi akibat perubahan iklim. Jumlah orang berusia di atas 65 tahun yang meninggal karena cuaca panas meningkat sebesar 85% dari tahun 1991-2000 hingga 2013-2022, kata laporan itu lagi.

“Dampak yang kita lihat saat ini bisa jadi hanya gejala awal dari masa depan yang sangat berbahaya,” kata direktur eksekutif Lancet Countdown, Marina Romanello, kepada wartawan.

Berdasarkan skenario di mana suhu dunia akan meningkat sebesar dua derajat Celcius pada akhir abad ini, kematian tahunan akibat panas diperkirakan akan meningkat sebesar 370% pada tahun 2050. Angka ini berarti meningkat sebesar 4,7 kali lipat.

Menurut proyeksi tersebut, sekitar 520 juta orang akan mengalami kerawanan pangan tingkat sedang atau parah pada pertengahan abad ini. Dan penyakit menular yang dibawa oleh nyamuk akan terus menyebar ke wilayah-wilayah baru. Penularan demam berdarah akan meningkat sebesar 36% dalam skenario pemanasan 2C, menurut penelitian tersebut.

Sementara itu, lebih dari seperempat kota yang disurvei oleh para peneliti mengatakan mereka khawatir perubahan iklim akan membebani kemampuan mereka untuk mengatasinya.

“Kita menghadapi krisis di atas krisis,” kata Georgiana Gordon-Strachan dari Lancet Countdown, yang kampung halamannya di Jamaika saat ini sedang dilanda wabah demam berdarah.

Omong kosong

"Masyarakat yang tinggal di negara-negara miskin, yang sering kali paling tidak bertanggung jawab atas emisi gas rumah kaca, adalah pihak yang paling terkena dampak kesehatannya, namun mereka yang paling tidak mampu mengakses pendanaan dan kapasitas teknis untuk beradaptasi terhadap badai mematikan, naiknya permukaan air laut, dan kekeringan yang melemahkan tanaman yang diperburuk oleh pemanasan global,” katanya.

Menanggapi laporan tersebut, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan umat manusia sedang menghadapi masa depan yang tidak dapat ditoleransi.

“Kita sudah melihat bencana kemanusiaan yang terjadi dimana kesehatan dan mata pencaharian miliaran orang di seluruh dunia terancam oleh suhu panas yang memecahkan rekor, kekeringan yang menyebabkan gagal panen, meningkatnya kelaparan, meningkatnya wabah penyakit menular, serta badai dan banjir yang mematikan,” katanya dalam sebuah pernyataan.

Dann Mitchell, ketua bidang bahaya iklim di Universitas Bristol, Inggris, menyesalkan bahwa peringatan kesehatan yang sudah merupakan bencana besar mengenai perubahan iklim tidak berhasil meyakinkan pemerintah dunia untuk mengurangi emisi karbon secukupnya untuk menekan laju suhu 1.5 derajat celsius seperti tujuan pertama perjanjian pada KTT Iklim Paris pada 2015.

PBB memperingatkan bahwa negara-negara yang berjanji saat ini akan mengurangi emisi karbon global hanya sebesar dua persen pada tahun 2030 dari tingkat tahun 2019 – jauh dari penurunan sebesar 43% yang diperlukan untuk membatasi pemanasan hingga 1,5C.

Romanello memperingatkan bahwa jika tidak ada kemajuan yang dicapai dalam hal emisi, penekanan yang semakin besar pada kesehatan dalam negosiasi perubahan iklim berpotensi hanya jadi omong kosong. (AFP/M-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat