visitaaponce.com

PHRI Tolak Program Sertifikasi CHSE yang Digagas Sandiaga

PHRI Tolak Program Sertifikasi CHSE yang Digagas Sandiaga
Logo Sertifikat CHSE(Antara/Fikri Yusuf)

PERHIMPUNAN Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menolak program sertifikasi Cleanliness, Health, Safety & Environment Sustainability (CHSE) yang akan dilakukan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). 

Program sertifikasi itu sebelumnya digagas oleh Menteri Parekraf Sandiaga Uno guna memberikan jaminan bahwa pelaku industri pariwisata dan ekonomi kreatif dapat menjalan protokol kesehatan di masa adaptasi kebiasaan baru selama pandemi covid-19. 

Ketua Badan Pimpinan Daerah (BPD) PHRI Jakarta Sutrisno Iwantono mengatakan kondisi industri hotel saat ini tengah terpuruk. Kebijakan wajib CHSE diyakini bakal semakin membebani pelaku industri di sektor tersebut. 

"Kami Pimpinan BPD PHRI Jakarta menolak rencana pemerintah untuk mewajibkan sertifikasi CHSE bagi industri pariwisata khususnya sektor hotel dan restoran, jika dilakukan saat ini karena bersifat kontraproduktif dari upaya kami yang berusaha bangkit dari keterpurukan," kata Sutrisno dalam konferensi pers virtual, Senin (27/9).  

Menurut Sutrisno, program CSHE ini tidak gratis. Artinya untuk mendapatkan sertifikasi CHSE pelaku industri hotel harus mengeluarkan biaya. 

Dia pun mencoba memperhitungkan biaya sertifikasi CHSE. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hotel di Indonesia saat ini berdiri 29.243 hotel. Jika biaya sertifikasi CHSE ditetapkan Rp10 juta per hotelnya, akan terkumpul sebanyak Rp292 miliar per tahunnya. 

Belum lagi ditambah dengan 118.069 restoran. Jika diasumsikan biaya CHSE untuk restoran Rp8 juta per unitnya maka akan ada pengeluaran sebesar lebih dari Rp944 miliar.  

Baca juga : Kementan Pantau Keamanan Pangan Asal Hewan Jelang PON XX Papua

"Jadi biaya-biaya itu yang akan sangat memberatkan kami. Ini termasuk negative sum game, transfer economic value dari hotel dan restoran kepada pelaku usaha lain pelaksana sertifikasi CHSE. Kami menganggap ini adalah bentuk ketidakadilan," tegasnya.  

Sutrisno melanjutkan, sejak kemunculan dan penerapan CHSE ini belum ada dampak signifikan terhadap usaha hotel dan restoran. Dia menilai CHSE hanya bersifat sebagai marketing gimmick dengan labeling 'I do Care'. 

"Namun sejatinya praktik Clean, Health, Safety, Environment sudah menjadi best practice hotel dan juga sudah termasuk dalam penerapan standar laik sehat, food safety management system dan Occupational Health and Safety Assessment Series (OHSA)," ujarnya.  

Demikian halnya dengan protokol kesehatan yang diterapkan pada sektor hotel dan restoran telah dilaksanakan dengan baik.  

"Bahkan hotel dan restoran adalah sektor yang paling siap dalam mengimplementasikan prokes tersebut," tutur dia.  

Hingga saat ini sudah banyak sertifikasi yang telah diterapkan di industri perhotelan seperti sertifikasi usaha, sertifikasi laik sehat, sertifikasi profesi, sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan yang lainnya.  Semua sertifikasi yang dilakukan tersebut tentu ada biayanya. 

Untuk itu, menurut Sutrisno, sertifikasi CHSE tidak layak untuk dijadikan kewajiban setiap tahun dengan biaya yang berat apalagi dimasukkan dalam Online Single Submission (OSS). Hal ini akan sangat memberatkan dan tidak berdampak peningkatan ekonomi bagi wisata khususnya hotel dan restoran. (OL-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat