visitaaponce.com

Aspek Legal yang Perlu Diperhatikan Pelaku Usaha

Aspek Legal yang Perlu Diperhatikan Pelaku Usaha
Husni Farid Abdat.(DOK Pribadi.)

DI awal 2022, fenomena startup yang melakukan efisiensi melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Sejumlah startup Indonesia juga menghadapi permasalahan yang dikenal sebagai fenomena bubble burst yakni fenomena bisnis yang cepat mengalami kenaikan tetapi cepat juga mengalami penurunan. Fenomena pecahnya gelembung tersebut karena saat ini perusahaan startup sulit mendapatkan pendanaan serta tidak punya aset. Padahal, untuk meraih pengguna kebanyakan dari startup harus melakukan strategi bakar uang.

Isu resesi menjadi perhatian banyak pihak baik di dalam dan luar negeri. Bagaimana sebenarnya situasi usaha atau bisnis saat ini dan menghadapi resesi? Menurut Husni Farid Abdat selaku Founder Hibra (Legal Business Consulting), pelaku usaha harus siap mental dan memperkokoh fondasi bisnis yakni fundamentalnya. Salah satu yang perlu menjadi perhatian pelaku usaha ialah aspek hukum (legal).

Pelaku usaha, imbuh Husni, perlu mengamankan bisnis dengan baik dan benar, yakni dengan memperhatikan aspek legalnya. Setiap startup tentu punya nama yang akan digunakan sebagai merek dagang dan ide yang akan diterapkan dalam bisnis mereka. Nah kalau memang merek dagang dan ide tersebut unik dan original serta belum ada kompetitor yang menggunakan, sebaiknya segera merek tersebut didaftarkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)-nya.

Itu penting buat pendiri startup yang punya mimpi buat mengembangkan usahanya menjadi besar. Soalnya, kebanyakan startup butuh dana investor untuk mejadi semakin besar, sehingga disarankan membuat badan hukum perseroan terbatas (PT) dan perizinan usaha. Untuk startup yang baru merintis disarankan punya produk yang bisa diluncurkan ke pasar tanpa bantuan dari perusahaan lain (yang mengontrol waktu peluncuran). Selain itu, penting untuk mendorong pertumbuhan pelanggan secara organik sehingga tidak bergantung pada mitra untuk mempercepat ekspansi.

Jika ingin mencari mitra, coba bekerja sama dengan perusahaan yang lebih kecil terlebih dahulu dan buat prototipe bersama mereka. "Perusahaan kecil cenderung lebih mudah untuk bekerja sama dalam berbagai hal, mulai dari pembuatan Non-Disclosure Agreement (NDA), kontrak, integrasi produk, hingga pemasaran," jelas Husni dalam keterangan tertulis, Senin (14/11). Bila berencana tidak akan bermitra dalam waktu lama dengan perusahaan, perhatikan isi dari perjanjian kerja sama. Jangan sampai ada kesepakatan yang nanti bisa memaksa untuk bekerja terlalu lama dengan mereka.

Jangan terburu-buru menawarkan kerja sama dengan perusahaan besar. Sebab, tidak mudah membangun kerja sama dengan perusahaan besar karena membutuhkan sumber daya yang intensif. Jenis kerja sama ini mungkin bisa membantu startup tumbuh secara pesat. Sebaliknya, bagi perusahaan besar, bisa jadi tidak terdapat pengaruh signifikan dari kemitraan ini sehingga mereka tidak termotivasi. Menurut Husni Farid Abdat, ada banyak faktor yang menyebabkan PHK massal dilakukan oleh perusahaan, selain karena ingin menyelamatkan bisnis dan mengembalikan dana investor. Faktor-faktor tersebut bisa terjadi karena perusahaan salah strategi. Karena terjadi penurunan kinerja, kompetensi sumber daya manusia yang tidak maksimal. Selain itu ada tren banyaknya startup yang baru berdiri sehingga menyebabkan startup-startup tidak mampu bersaing. 

Terdapat aspek-aspek hukum yang harus diperhatikan dalam fenomena PHK yang terjadi pada perusahaan startup. Salah satu aspek yang diperhatikan yaitu ketentuan yang jelas mulai dari hubungan kerja, jam kerja, upah, lembur, bonus. Indonesia sudah memiliki berbagai regulasi yang mengatur hubungan kerja dan perlindungan tenaga kerja seperti Undang Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, serta UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Undang-Undang Cipta Kerja sudah mengatur hal-hal mengenai PHK terhadap pekerjanya. PHK yang dilakukan oleh perusahaan terhadap karyawannya tidak boleh dilakukan sewenang-wenang.

Untuk menghindari PHK massal, dalam hal perusahaan masih baru dan uji coba terhadap produknya, boleh melakukan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) atau yang biasa disebut dengan kerja kontrak. Ketika produknya gagal, PKWT tersebut dapat berakhir. Startup boleh saja melakukan PHK terhadap karyawannya selama mematuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan. Perusahaan startup yang merugi, karena kalah bersaing dengan perusahaan lain atau karena gagal menjual produk baru kemudian melakukan PHK, dapat dibenarkan dengan alasan efisiensi karena merugi.

Namun kebijakan itu harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang telah diubah dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Perusahaan, lanjut Husni, wajib memberikan pesangon kepada pekerjanya yang terkena PHK sesuai ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Ketenagakerjaan. PHK massal kerap dilakukan agar startup bisa mengembalikan dana investor serta perusahaan bisa tetap eksis dan mendapatkan laba. Namun, pekerja yang terkena PHK tetap harus mendapatkan hak pesangon atau hak kompensasi dari perusahaan. (OL-14)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat