visitaaponce.com

Harga Batu Bara Mulai Merosot, Progres Hilirisasi Dinanti

Harga Batu Bara Mulai Merosot, Progres Hilirisasi Dinanti
Foto dari udara menunjukkan sebuah kapal kargo bermuatan batu bara berlabuh di sebuah pelabuhan di Lianyungang, Provinsi Jiangsu, Tiongkok.(AFP)

SEJAK raihan harga tertingginya pada awal September 2022 sebesar USD 458 / metric ton (MT), harga acuan batu bara saat ini berada dalam tren turun.

Meski sempat rebound pada awal Desember 2022, saat ini harga acuan batu bara internasional sudah mencapai USD 247 / MT. Penurunan tajam terlihat sejak akhir Januari 2023.

Hal ini seiring dengan Tiongkok yang mulai meningkatkan produksi batu bara sejalan dengan reopening ekonomi Tiongkok yang didukung oleh pelonggaran kebijakan zero Covid-19. Tiongkok juga sudah mulai mengimpor kembali batu bara dari Australia.

"Lesunya ekonomi global turut menurunkan permintaan maupun harganya. Sehingga, Indonesia merespon hal tersebut dengan kebijakan dan trategi yang tentunya berbeda dari sisi produksi," kata Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Indonesia Maximilianus Nico Demus, Jumat (3/2).

Baca juga: Royalti 0% Perusahaan Batu Bara, Rugikan Negara Rp33,8 Trilun

PT Bukit Asam Tbk (PTBA) sejak kuartal III-2022, sudah mulai menurunkan produksi. Namun, beberapa emiten justru masih menaikan target produksinya sejalan dengan target pemerintah yang dinaikan.

Pemerintah melalui Kementerian ESDM menargetkan produksi sebesar 694 juta ton di tahun 2023.

Sementara, sebanyak 236,7 juta ton batu bara dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri baik untuk sektor kelistrikan maupun non-kelistrikan. Kenaikan pemenuhan domestic market obligation (DMO) untuk mengantisipasi pemulihan ekonomi dalam negeri.

Realisasi produksi batu bara sudah sebesar 687 juta ton, yang sudah melebihi target sebesar 663 juta ton atau sebesar 103%. Sebesar 206 juta ton dimanfaatkan untuk pasokan dalam negeri.

Sementara, target ekspor batu bara sebesar 457,3 juta ton pada tahun 2023. Ini melihat potensi permintaan dari pasar Eropa yang masih terbuka meski serapan ekspor batu bara ke Eropa masih rendah, tidak lebih dari 10 juta ton yang permintaannya berasal dari Polandia, Swiss dan beberapa negara lainnya.

Tahun ini pun peluang permintaan tinggi dari pasar India untuk kebutuhan PLTU dan peluang permintaan dari Tiongkok.

Sementara, sejumlah tantangan dihadapi di dalam negeri. Pertama yaitu dari sisi integrasi bisnis yang menyasar hilirisasi, namun terhambat dari sisi teknologi pengelolaan batu bara menjadi bahan baku kimia seperti DME, yang belum dikuasai Indonesia karena memang cukup kompleks.

Kedua, dari sisi pendanaan untuk pembiayaan proyek berbasis batu bara termasuk gasifikasi batu bara turut menjadi tantangan. Sehingga, dukungan pemerintah dibutuhkan dari insentif fiskal maupun non-fiskal.

"Juga pnetapan harga jual produk derivatif batu bara seperrti DME dan metanol dan untuk menjaga disparitas harga diperlukan," kata Nico.

Salah satu emiten yang saat ini tengah mengembangkan proyek gasifikasi yaitu PTBA yang merupakan BUMN.

Namun, proyek itu masih tertunda penyelesaiannya mengingat kompleksitas dari sisi infrastruktur dan teknologi dalam mengkonversi energi batu bara menjadi DME yang dapat mengurangi impor LPG serta subsidinya.

"Kami melihat PTBA cenderung ekspansif dengan pengembangan bisnis secara horizontal dan vertikal,"

PTBA mulai mengembangkan lini bisnis ke segmen energi hijau yang mana sudah terinstall PV solar panel di bandara dan jalan tol, bahkan mulai masuk ke industri semen.

Saat ini PTBA juga mulai menjajaki kerja sama pengembangan PLTB atau pembangkit listrik tenaga bayu bersama China Huadian Corporation untuk mengakselerasi pengembangan energi hijau di Indonesia serta meningkatkan kapasitas PTBA dari sisi teknologi yang menjadi salah satu tantangan saat ini.

Proyek gasifikasi saat ini yang mulai dikembangkan seperti DME di juga menguatkan integrasi bisnis PTBA dari hulu hingga ke hilir.

"Hanya saja, kami melihat sebagai BUMN, PTBA memiliki lebih banyak eksposur dari sisi inisiasi pemerintah, seperti pensiun dini pembangkit listrik batu bara yang juga menurunkan masa operasional pembangkit tersebut seiring dengan pengembangan energi terbarukan di Indonesia," kata Nico.

Berikutnya, inisiasi pemerintah dari sisi pajak karbon dengan skema adanya batas atap di mana hal ini juga berpotensi meningkatkan biaya perusahaan.

"Meski demikian, kami melihat skema BLU dapat menjadi katalis positif dari sisi adanya disparitas harga antara harga yang ditetapkan pemerintah yang sebesar USD 70/MT dengan harga batu bara saat ini

yang sudah turun ke bawah USD 250/MT. Meskipun harga cenderung fluktuatif, kami masih optimis dengan permintaan di tahun ini yang didorong dari sisi geopolitik yang belum juga usai," kata Nico. (Try/OL-09)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat