visitaaponce.com

Kenaikan Harga Pembelian Gabah dan Beras Buka Potensi Penguasaan oleh Korporasi

Kenaikan Harga Pembelian Gabah dan Beras Buka Potensi Penguasaan oleh Korporasi
Petani sedang memanen padi.(MI/Bagus Suryo)

BADAN Pangan Nasional (Bapanas) menerbitkan Surat Edaran No. 47/TS.03.03/K/02/2023 tentang Harga Batas Atas Pembelian Gabah atau Beras dengan tujuan untuk mengendalikan laju harga beras.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menegaskan bahwa penentuan harga pembelian gabah atau beras dibahas tanpa melibatkan petani. Bahkan pihaknya mendapat informasi bahwa kementerian teknis yakni Kementerian Pertanian tidak diikutsertakan.

"Sebaliknya, Bapanas justru melibatkan korporasi pangan, seperti Wilmar Padi. Keterlibatan dalam menentukan batas atas harga menjadi ruang bagi korporasi pangan skala besar untuk dapat membeli gabah dari petani dengan harga yang murah, lalu memprosesnya (mengolah dan mendistribusikannya) dengan standar premium dan harga yang premium atau harga tinggi," ungkap Henry, Rabu (22/2).

Alih-alih mengendalikan harga beras ditingkat konsumen, penetapan harga yang dilakukan Bapanas menurutnya membuka peluang penguasaan gabah atau beras oleh korporasi. Bukan tidak mungkin kejadian serupa minyak goreng yang tidak mampu dikendalikan harganya oleh pemerintah pada tahun 2022 lalu berulang pada beras kali ini.

Sementara Presiden Partai Buruh Said Iqbal menambahkan, terbitnya Surat Edaran tentang Harga Batas Atas Pembelian Gabah atau Beras justru akan memperburuk kesejahteraan petani dan juga merugikan konsumen di Indonesia. Berkaca dari gejolak harga beras yang terjadi di Indonesia selama 2022 lalu, persoalan penyerapan beras untuk cadangan pemerintah menjadi salah satu permasalahan mendasar. Bahkan menjadi dalih impor Beras 500.000 ton.

“Oleh karenanya Partai Buruh menolak Impor Beras, terlebih produksi dalam negeri sepanjang tahun lalu masih mencukupi. Partai Buruh menegaskan agar kebijakan penyerapan beras haruslah memperhatikan kesejahteraan petani dan konsumen,” ujar Said.

Pihaknya juga mendesak pemerintah memastikan jaminan harga yang layak sesuai dengan biaya yang ditanggung oleh petani. Sementara itu perlu ada kontrol ketat distribusi beras kepada masyarakat, sehingga harga beras bisa terjangkau untuk dibeli oleh konsumen. Jangan berikan peluang kepada korporasi yang menjadi ‘pemain tengah’ dalam rantai distribusi beras meraup untung besar.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Exco Pusat Partai Buruh Bidang Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan Angga Hermanda menjelaskan, disepakatinya harga batas bawah Rp4.200 per kg dan harga batas atas Rp4.550 per kg untuk Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani akan merugikan petani padi. Penentuan harga itu abai terhadap fakta-fakta bahwa terjadi peningkatan biaya produksi dan modal yang ditanggung petani. Seperti kenaikan harga pupuk, kenaikan sewa tanah, kenaikan biaya upah pekerja (bagi petani yang tidak mengusahakan sawahnya sendiri).

“Partai Buruh mengusulkan kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah atau Beras yang terakhir direvisi oleh Kementerian Perdagagan pada tahun 2020 lalu, karena sudah tidak sesuai lagi dengan biaya yang ditanggung oleh petani. Hal ini menjadi penting karena saat ini tengah memasuki masa panen raya, sehingga penetapan harga yang layak menjadi sangat penting dan genting,” ujar Angga.

“Partai Buruh bersama Serikat Petani Indonesia (SPI) mengusulkan HPP untuk GKP ditingkat petani sebesar Rp5.600 per kg. Sebab yang menjadi pertimbangan yaitu kenaikan upah tenaga kerja, sewa lahan, dan sewa peralatan. Upah tenaga kerja sekarang sudah Rp120 ribu sampai Rp150 ribu per hari, sewa lahan tentu sudah naik diatas 3 - 4 juta per hektare, terus sewa peralatan pada umumnya Rp1,5 juta. Kemudian biaya panen belum dihitung rata-rata Rp3 juta/ha, bahkan dibeberapa daerah masih ada biaya angkut,” sambungnya.

Pihaknya juga menyoroti disharmoni peraturan yang mengatur HPP Gabah atau Beras. HPP sebelumnya diatur dalam Instruksi Presiden tahun 2015, lalu direvisi melalui Peraturan Kementerian Perdagangan RI tahun 2020, dan sekarang melalui Surat Edaran Bapanas Tahun 2023. Setidaknya terdapat tiga hal yang ditemui dari perubahan peraturan tersebut.

Pertama, ketidakteraturan peraturan justru membuat penerapannya tidak optimal, bahkan kerap diacuhkan. Kedua yaitu besaran penetapan harga yang tidak sesuai dengan situasi dilapangan akan mempengaruhi produksi dan pasar. Kemudian yang ketiga, dengan tidak dilibatkannya petani dalam perumusan harga menunjukan kehadiran Bapanas bukan dibentuk untuk tujuan awal kelembagaan pangan yang dimaksud UU 18/2012 tentang pangan. (OL-13)

Baca Juga: Bapanas: Masih Ada Potensi Gejolak Harga Pangan

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat