visitaaponce.com

Jangan Hanya Bicara Kendaraan Listrik Untuk Wujudkan Dekarbonisasi Ekonomi

Jangan Hanya Bicara Kendaraan Listrik Untuk Wujudkan Dekarbonisasi Ekonomi
Stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) salah satu infrastruktur pendukung kebijakan kendaraan listrik(MI/Ramdani)

PEMERINTAH didorong untuk berpikir jernih dan lebih terbuka pada upaya pengurangan emisi melalui kebijakan ekonomi. Kebijakan yang dibuat diharapkan tak hanya terpaku pada satu teknologi yang belum bisa dijamin keberlanjutannya dalam jangka panjang.

Gembar-gembor mengenai kendaraan berbasis listrik sedianya diterima sebagai upaya untuk melakukan dekarbonisasi ekonomi. Hanya, itu bukan satu-satunya jalan untuk mewujudkan perekonomian nasional menjadi hijau.

"Kita paling getol bicara mobil listrik, seolah itu menjadi satu-satunya jawaban untuk menurunkan emisi. Padahal banyak yang bisa kita lakukan. banyak teknologi seperti hidrogen. Tapi yang ada di kepala kita ini hanya mobil listrik saja," ujar Wakil Ketua Umun Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam dalam seminar bertajuk Arah Kebijakan dan Pemetaan Pemangku Kepentingan Menuju Dekarbonisasi Ekonomi Indonesia, Jakarta, Senin (13/3).

Baca juga : Pakar : Insentif Kendaraan Listrik Lebih Baik Diprioritaskan ke Transportasi Publik

Bob Azam yang usahanya bergerak di bidang otomotif itu menyampaikan, banyak komponen lain yang juga berpeluang besar untuk digarap Indonesia. Alih-alih hanya menganakemaskan kendaraan listrik, sumber energi baru terbarukan lainnya juga mesti didorong oleh pengambil kebijakan.

"Kita ingin pembuat kebijakan open minded, bahwa semua kesempatan teknologi itu bisa dipakai untuk menurunkan emisi," tutur Bob.

Baca juga : Dukung Ekosistem Kendaraan Listrik, BNI Siapkan Program Pembiayaan Khusus

Perubahan iklim dan pemanasan global, lanjut Bob, bukan lagi sekadar ancaman. Dampak nyata dari fenomena itu telah dirasakan dan menimbulkan tantangan bagi perekonomian, tak hanya Indonesia, melainkan seluruh dunia.

Karenanya, tujuan utama untuk melakukan dekarbonisasi ekonomi melalui sektor transportasi mestinya dilakukan untuk menurunkan dan mengurangi emisi. 

"Kalau memang dekarbonisasi ini menjadi drive ekonomi ke depan, ya kita harus setulus hati, berusaha, effort mengurangi emisi," terang Bob.

"Pemerintah masih ambivalen, dalam G20, B20, kerap kali kita mendengar pemerintah mendukung dekarbonisasi, menaikan target 29% menjadi 31%. Tapi tetap ada tapinya, yaitu sepanjang dekarbonisasi tidak bertentangan dengan pertumbuhan ekonomi. ini bagaimana?" sambung dia.

Senada dengan Bob, Peneliti Kebijakan Iklim dan Perdagangan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Novia Xu mengatakan, semestinya upaya untuk mengurangi emisi menjadi tujuan utama dari agenda dekarbonisasi ekonomi yang berjalan.

Menurutnya, pemahaman mengenai tujuan pengurangan emisi itu perlu ditanamkan dari seluruh elemen pengambil kebijakan terlebih dulu. 

"Masih banyak kekurangan, tidak hanya dari kapasitas pemerintah itu sendiri. Karena masih lebih berat gimmick dibanding genuity nya," kata Novia.

"Hal yang sudah pasti itu adalah kita perlu mengukur karbon, mengukur kandungan emisi karbon dan itu sangat terbatas. Kita tanyakan kepada beberapa kementerian mengenai seberapa besar emisi dari kantornya, mereka tidak tahu," tambahnya.

Pemerintah, imbuh dia, juga masih memberikan solusi palsu dalam melawan perubahan iklim dan pemanasan global. 

"Kita banyak mendengar false solution, solusi-solusi yang ditawarkan pemerintah itu hanya fokus pada satu hal. Dan satu hal itu pun belum tentu dampaknya benar untuk bisa menurunkan emisi karbon," terang Novia.

Sementara itu Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono menyampaikan, evaluasi kerangka kebijakan dalam hal dekarbonisasi ekonomi mesti dilakukan berkala. Alih-alih menunggu hasil hingga 2060 seperti yang ditargetkan untuk nol emisi, evaluasi dapat dilakukan periodik dalam jangka pendek guna memastikan dan mengukur efektivitas kebijakan yang dikeluarkan.

Sependapat dengan Bob dan Novia, dia menilai dekarbonisasi ekonomi tak hanya soal masifnya penggunaan kendaraan listrik. Banyak teknologi lain yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mendorong pencapaian ekonomi hijau.

"Jadi memang arah atau pun bentuk kebijakannya harus relatif terbuka terhadap perubahan teknologi, karena kalau terlalu favor pada satu teknologi, ditakutkan ke depan itu tidak menjadi unggulan," pungkas Yudo. (Z-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat