visitaaponce.com

Kadin Menilai Kenaikan Impor Maret Bersifat Anomali

Kadin Menilai Kenaikan Impor Maret Bersifat Anomali
Pekerja melakukan bongkar muat peti kemas di pelabuhan peti kemas Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau.(Antara/Teguh Prihatna )

WAKIL Ketua Umum Kadin Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani berpendapat bahwa surplus perdagangan Indonesia yang melandai bukan hanya disebabkan oleh kinerja impor.

Justru kalau melihat data perdagangan Maret 2023 yang dirilis BPS beberapa hari lalu, nilai impor riil Indonesia meningkat dibandingkan bulan lalu.

"Yang berbeda di sisi ekspor adalah pertumbuhan kinerja ekspor relatif lebih landai dibandingkan pertumbuhan impor Maret karena tren harga komoditas global yang menurun lebih signifikan di Maret, khususnya untuk batu bara, sementara volume ekspornya relatif stabil. Jadi tidak heran bila surplus perdagangan berkurang bulan lalu," kata Shinta, saat dihubungi, Kamis (20/4).

Baca juga : Neraca Dagang Oktober 2023 Catatkan Surplus US$3,48 Miliar

Kenaikan impor pada bulan Maret juga Kadin lihat sifatnya sebagai anomali. Sebab, kalau impor yang meningkat paling eksponensial adalah impor alat transportasi udara (HS 88-aircraft, spacecraft & parts thereof) yang kenaikannya mencapai lebih dari 1.700%.

"Ini impor yang tidak akan sustainable di bulan-bulan mendatang karena sifatnya sebagai barang modal, bukan input produksi supply chain. Sehingga tidak ada korelasi terhadap peningkatan kinerja atau produktivitas industri manufaktur dalam negeri maupun terhadap kegiatan ekspor," kata Shinta.

Yang ada mungkin hanya karena ekspor jasa perjalanan udara meningkat dengan tingkat normalisasi mobilitas orang lintas negara sudah kembali ke level pra-pandemi.

Baca juga : Untung dari Harga Komoditas, Kadin Nilai Penurunan Surplus Dagang Wajar

Terkait peralihan produksi ekspor ke pasar domestik, secara teori dia katakan bisa. Tetapi pada praktiknya tidak semudah itu, bahkan sebetulnya sangat sedikit produsen produk ekspor yang serta merta mengalihkan produknya ke pasar domestik ketika pasar ekspor lesu.

Hanya beberapa jenis industri yang bisa mudah mengalihkan produk ekspor ke pasar domestik (umumnya makanan minuman). Sedangkan untuk industri seperti pakaian dan sepatu kemungkinan peralihannya tipis.

Ini karena beberapa faktor seperti perbedaan daya beli, dan persaingan antara pasar domestik dengan pasar ekspor, khususnya karena produk ekspor harus bersaing dengan produk yang berkualitas & harga yang lebih rendah di pasar domestik sehingga menyebabkan produsen produk ekspor harus “banting harga” untuk memaksimalkan penjualan.

Baca juga : Rp173 Triliun, Surplus Perdagangan RI dengan ASEAN

Ini kondisi yang umumnya dihindari oleh produsen berorientasi ekspor. Mereka lebih memilih untuk shutdown (sementara), karena tingkat kejenuhan daya serap pasar domestik (kemungkinan oversupply di pasar domestik sangat tinggi).

Isu terkait production scale yaitu bagaimanapun juga potensi pasar domestik tidak akan pernah sebesar potensi pasar ekspor dari segi volume.

Di luar itu juga ada faktor perjanjian dengan buyers dalam global value chains (GVC) atau rantai nilai global. Umumnya produk yang diproduksi untuk ekspor di Indonesia memang tidak dimaksudkan untuk dijual di pasar negara tertentu, untuk menjaga eksklusivitas atau brand compatibility dengan pasarnya.

Baca juga : Kinerja Impor RI pada Oktober 2022 Turun 3,40%

"Ini terkait dengan branding dan marketing strategy brand internasional. Sehingga akan sulit untuk diubah pasar tujuan produksinya," kata Shinta. (Try/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat