visitaaponce.com

WTO Bawa Sengketa Nikel Indonesia ke Badan Banding Tahun Depan

WTO Bawa Sengketa Nikel Indonesia ke Badan Banding Tahun Depan
Ilustrasi aktivitas di lokasi penambangan nikel(Dok.Ist)

ORGANISASI Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) berencana mengaktifkan Badan Banding guna menyelesaikan sengketa perdagangan internasional. Salah satunya adalah sengketa kebijakan larangan ekspor nikel oleh Indonesia.

Rencana ini akan dibahas pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) atau ‘Ministerial Conference 13’ (MC13) yang berlangsung pada Februari tahun depan. Lokasi konferensi ini masih belum ditentukan. Konferensi para menteri ini adalah pertemuan tingkat tinggi para menteri perdagangan dari negara-negara anggota WTO yang berlangsung rutin setiap dua tahun.

Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala dalam video sambutannya pada agenda seminar WTO untuk jurnalis ASEAN dan Oceania di Bangkok, Thailand mengatakan, bahwa upaya penyelesaian sengketa ini menjadi salah satu hal prioritas yang diinginkan para negara anggota WTO. Penyelesaian sengketa melalui Badan Banding ini juga merupakan salah satu langkah yang disepakati dalam KTM ke-12 atau ‘Ministerial Conference 12’ atau MC12 pada 2022 lalu.

Baca juga: Indonesia Gugat Uni Eropa ke WTO soal Baja CRS

“Para menteri sepakat di MC12 untuk memiliki sistem penyelesaian sengketa yang berfungsi penuh dan berfungsi dengan baik pada 2024,” kata Ngoji, Selasa (25/4).

Penyelesaian sengketa ini tentunya bukan hal yang mudah. Negosiasi demi negosiasi dengan banyak negara harus ditempuh.

Baca juga: Indonesia Kembangkan Industri Hilirisasi Logam dan Ekosistem Kendaraan Listrik

“Ini adalah masalah yang sulit dan kami tidak punya banyak waktu jika kami ingin terlibat dalam negosiasi substantif dan mencapai hasil. Namun demikian, pekerjaan yang sedang berlangsung pada masalah ini bergerak ke arah yang benar,” ungkapnya.

Dihubungi terpisah, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengapresiasi dan mendukung penuh komitmen untuk memfungsikan kembali Badan Banding pada 2024 sebagaimana disepakati di pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-12 WTO. Hal tersebut terus didorong pemerintah Indonesia pada setiap pertemuan formal maupun informal antara anggota WTO.

“Terkait dengan kasus nikel Indonesia, pemerintah siap untuk memperjuangkan kepentingan nasional kapanpun Badan Banding aktif. Pemerintah telah menyusun poin-poin untuk menganulir keputusan Panel WTO dan berharap agar keputusan akhir yang bersifat mengikat (inkracht) dapat berpihak kepada Indonesia. Keputusan akhir tersebut masih membutuhkan proses yang panjang,” jelas Zulkifli saat dihubungi Media Indonesia.

Ia lebih lanjut mengatakan, Kementerian Perdagangan terus bekerja sama dengan Tim Kuasa Hukum (lawyer) pemerintah Indonesia dan Tim Ahli dalam penanganan sengketa (litigasi) nikel guna mempertahankan kebijakan dan kepentingan nasional Indonesia di WTO. Kemendag juga terus berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait untuk mengamankan kebijakan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.

Secara paralel, pemerintah RI sedang menyusun strategi, termasuk mengkaji opsi-opsi kebijakan yang tetap mempertahankan kebijakan hilirisasi.

“Namun demikian, strategi tersebut tidak dapat disampaikan di publik saat ini mengingat hal ini merupakan kepentingan strategis. Setelah selesai proses beracara di WTO, pemerintah sudah menyiapkan langkah-langkah ke depan untuk menjamin bahwa kebijakan hilirisasi terus berlanjut untuk kemakmuran Indonesia,” ujarnya.

Di sisi lain, Zulkifli menegaskan, pemerintah Indonesia melihat adanya kekeliruan Uni Eropa dalam mendefinisikan aturan-aturan WTO dan memandang bahwa tindakan Indonesia juga dapat dibenarkan berdasarkan aturan WTO terkait, yakni pengecualian larangan atau pembatasan ekspor yang mana sudah sesuai ketentuan Article XI:I GATT 1994 yakni menggunakan alasan untuk melindungi cadangan nikel dalam negeri mempertimbangkan adanya kondisi kelangkaan (critical shortage) akibat pertambangan ilegal yang merugikan Indonesia.

Nikel juga merupakan produk esensial (essential product) bagi Indonesia baik pada masa sekarang maupun ke depannya untuk pengembangan industri baterai kendaraan listrik dan baja. Larangan ekspor juga bersifat sementara (temporary).

“Indonesia juga mengajukan justifikasi dengan alasan lingkungan berdasarkan ketentuan pengecualian umum pada Article XX (d) GATT 1994. Indonesia menyampaikan bahwa kedua kebijakan Indonesia tersebut diperlukan untuk mengurangi aktivitas pertambangan ilegal yang marak terjadi pada saat keran ekspor bijih nikel dibuka,” tandasnya. (Put/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat