visitaaponce.com

Kadin Jika AS Gagal Bayar, Dunia bakal Alami Guncangan Ekonomi

Kadin: Jika AS Gagal Bayar, Dunia bakal Alami Guncangan Ekonomi
Ilustrasi(AFP)

AMERIKA Serikat berpotensi mengalami gagal bayar atau default pada Juni 2023 bila tak ada konsensus dalam kongres untuk menaikkan plafon utang. Jika nantinya itu terjadi, maka ekonomi global diprediksi bakal mengalami guncangan.

Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, guncangan tersebut akan terjadi di hampir seluruh lini perekonomian dunia, mulai dari keuangan, perdagangan, hingga ekonomi makro secara umum.

"Ini memicu rantaian krisis ekonomi global yang akan jauh lebih merusak daripada sebelum-sebelumnya karena collapse-nya kepercayaan terhadap penggunaan dolar AS dan instrumen utang AS yang selama ini turut menjadi bagian dari treasuries atau cadangan devisa banyak negara," ujarnya kepada Media Indonesia, Sabtu (13/5).

Baca juga : IMF: Ekonomi Dunia Terdampak jika AS Alami Gagal Bayar

Cadangan devisa di satu negara, kata Shinta, berfungsi sebagai penyokong stabilitas ekonomi makro. Dus, Indonesia juga diprediksi bakal terdampak meski porsi ketergantungan Indonesia terhadap AS tidak dominan.

Bagi Indonesia, dampak yang akan paling terasa ialah penurunan tajam dari aliran masuk modal asing langsung (foreign direct investment/FDI). Itu bakal diikuti dengan anomali penguatan rupiah yang terlalu cepat sehingga berdampak pada penurunan nilai dari sisi permintaan ekspor.

Baca juga : Sri Mulyani Bahas Kerja Sama Hadapi Tantangan Global dengan Menkeu AS

Di saat yang sama, kinerja industri domestik bakal mengalami tekanan lantaran impor menjadi jauh lebih murah. Shinta turut menilai pasar komoditas global kemungkinan bakal anjlok akibat terjun bebasnya permintaan AS selama krisis.

"Ini karena AS merupakan importir terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok dan demand pasar AS menyokong demand impor di pasar-pasar lain seperti Uni Eropa, Tiongkok, Jepang, dan lainnya," urai Shinta.

"Karena itu, penerimaan ekspor, surplus ekspor dan kecukupan devisa akan lebih sulit untuk dipertahankan guna menciptakan stabilitas makro dan kepercayaan investor, pelaku pasar serta masyarakat," tambahnya.

Bila itu terjadi, Shinta menilai pengambil kebijakan akan kelimpungan mengatasi tekanan krisis kepercayaan pada sistem finansial global. Pasalnya, itu berpotensi berimbas pada kepercayaan masyarakat terhadap stabilitas sistem perbankan dan instrumen-instrumen keuangan nasional, termasuk saham dan obligasi privat maupun publik yang diperdagangkan di Indonesia.

Hal itu, menurutnya, amat bergantung pada potensi kepanikan di pasar keuangan nasional dan masyarakat, serta kemampuan Indonesia untuk mengendalikan spekulasi di pasar keuangan. Indonesia, imbuh Shinta, berpotensi mengalami krisis finansial seperti yang terjadi di Tiongkok.

Fokus perbesar sumber devisa

Yang jadi soal, lanjut dia, Indonesia tak bisa berbuat banyak lantaran tekanan itu datang dari faktor eksternal. Hanya, pengambil kebijakan masih dapat untuk terus fokus memperbesar sumber-sumber devisa dan melakukan diversifikasi instrumen cadangan devisa guna menciptakan tingkat daya tahan yang lebih tinggi.

"Di sisi lain, dependensi terhadap pengunaan dolar AS dalam perdagangan harus lebih digencarkan, khususnya dengan mekanisme LCS (Local Currency Settlement, dan reformasi struktural untuk peningkatan efisiensi dan daya saing seperti harga dan kualitas produk dalam negeri harus lebih digencarkan lagi," jelas Shinta.

Senada, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan, dampak itu akan terasa pada stabilitas perkonomian. Pertama, suku bunga akan menjadi lebih mahal lantaran AS mau tak mau menaikkan suku bunga untuk menjaga investor tetap membeli obligasi Negeri Paman Sam.

Di saat yang sama, itu berarti bunga pinjaman kian memberatkan pelaku usaha dan konsumen di Indonesia. Karena kenaikan suku bunga, kekhawatiran adanya hambatan pada laju pertumbuhan ekonomi perlu diperhatikan.

Dampak kedua dari kondisi gagal bayar AS terhadap Indonesia ialah terjadinya capital outflow (arus modal keluar). Sebab investor akan mencari aset-aset yang jauh lebih aman. "Karena investor mempersepsikan, aset sekelas utang AS saja bisa gagal bayar, apalagi aset berisiko tinggi. Pada akhirnya, keluarnya modal asing akan lemahkan kurs rupiah," jelas Bhima.

Ancam kinerja ekspor

Dampak ketiga ialah kinerja ekspor nasional bakal terganggu. Apalagi AS merupakan negara mitra dagang tradisional Indonesia dengan pangsa yang relatIf besar. Produk-produk seperti tekstil, alas kaki, pakaian jadi, dan bahan baku industri tujuan AS dipastikan bakal merosot kinerjanya.

"Apabila gagal bayar utang AS menjadi kenyataan, skenario terburuk adalah kiamat ekonomi bahkan lebih buruk dari krisis pandemi dan depresi besar tahun 1930-an," kata Bhima.

Namun Indonesia dinilai dapat menekan dampak negatif dari kondisi gagal bayar AS. Itu dapat dilakukan dengan mengambil langkah antisipasi sebagai pencegahan adanya pemburukan yang terlalu dalam.

Indonesia sedari sekarang dirasa perlu untuk melakukan stress test terhadap lembaga keuangan yang rentan terdampak dari krisis utang di AS. "Kemudian keluarkan paket kebijakan untuk menjaga sektor riil tetap tumbuh melalui penebalan anggaran perlindungan sosial, hingga stimulus bagi sektor berorientasi ekspor khususnya yang bersifat padat karya," tutur Bhima. (Z-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat