visitaaponce.com

Ditolak, Persamaan Tembakau dengan Narkoba dalam RUU Kesehatan

Ditolak, Persamaan Tembakau dengan Narkoba dalam RUU Kesehatan
Firman Subagyo.(Dokumentasi pribadi.)

DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) dan petani tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) dengan tegas menolak selipan pasal-pasal tentang pertembakauan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Pasal tersebut antara lain menyebutkan rokok atau tembakau disamakan dengan narkoba. Tembakau memberikan nilai positif dan menguntungkan negara sementara narkoba membahayakan kesehatan sekaligus merugikan negara.

"Kalau narkoba tidak ada nilai ekonomi. Narkoba jelas merugikan pemakai dan negara. Kalau tembakau dan industri rokok, ada nilai ekonomi dan nilai sosialnya. Beda jauh sekali. Ini kan ada industri tembakau dan jelas tembakau ada dampak positif untuk negara, menyumbang devisa negara, dan menyumbang kepentingan negara," tegas anggota Fraksi Partai Golkar DPR Firman Subagyo dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (6/6).

Firman Subagyo mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membuat kebijakan dengan mengambil keputusan atas gugatan judicial review bahwa tanaman tembakau ialah tanaman halal bukan tanaman haram. Bahkan, ketika ada anggota masyarakat yang menggugat industri rokok agar tidak boleh memasang iklan, hal itu dibatalkan MK alias ditolak. "Semua produk yang resmi ada izin dan sebagainya ialah hak asasi manusia. Jadi, tidak ada satu pun yang dilanggar industri rokok maupun tembakau apalagi petani tembakau," papar Firman. 

Baca juga: Petani Tembakau Temanggung Tolak Kunjungan ICTOH ke Desa Tlahap

Menurut dia, seharusnya pemerintah berkeberatan dengan sisipan pasal yang menyamakan rokok atau tembakau dengan narkoba di RUU Kesehatan. Hal ini karena negara sudah memungut cukai dari rokok yang jumlahnya hampir mencapai Rp220 triliun ditambah pajak-pajak lain dari industri rokok. Ia menyayangkan Kementerian Kesehatan justru mendukung adanya pasal tersebut. "Kalau rokok atau tembakau mau disamakan dengan narkoba, pertanyaan saya adalah kapan narkoba dipakai orang Indonesia dan kapan orang Indonesia merokok? Kalau dianggap rokok mematikan karena asapnya, apakah asap industri tidak lebih bahaya? Apakah asap mobil tidak berbahaya daripada rokok? Bus-bus yang lewat sekali ngepul sudah seperti rumah kebakaran, kenapa itu tidak? Ini kan ada kepentingan-kepentingan dagang," tanyanya.

Pihaknya mencurigai ada pihak-pihak tertentu yang ingin menjatuhkan ekonomi nasional, sehingga memasukkan sisipan Pasal 154 yang intinya berisi penyamaan narkoba dengan tembakau ataupun rokok. Padahal pasal tersebut tidak ada dalam rancangan awal dari RUU Kesehatan. "Yang jelas ini tidak lazim dan tidak sesuai dengan spirit UU karena UU-nya tidak membahas soal komoditas yang berdampak pada kesehatan. Kalau kita membahas komoditas yang berdampak pada kesehatan jangan hanya tembakau, gula juga kita harus dibahas, kemudian bensin. Ini karena bensin penyebab asap yang merusak paru-paru masyarakat. Kenapa hanya tembakau yang disasar? Kenapa begitu? Berarti ada sesuatu karena kita tahu bahwa ada persaingan keras yang namanya industri farmasi dan industri tembakau," tegas Firman Subagyo.

Baca juga: Negara Penghasil Tembakau Terbanyak di Dunia 2021

Latar belakang RUU Kesehatan yang menggunakan metode Omnibuslaw, lanjut Firman, merupakan inisiasi Badan Legislasi (Baleg) DPR. RUU tersebut ingin menyempurnakan tata kelola pelayanan kesehatan yang sekarang dianggap masih kurang baik. Padahal, di RUU Kesehatan pada pelayanan kesehatan itu menjadi hak masyarakat sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. "Sekarang ini pelayanan kesehatan kita masih jauh dari yang diharapkan. Jumlah dokter yang tersedia masih jauh daripada mencukupi. Kemudian juga untuk pengadaan kebutuhan dokter spesialis saja itu masih jauh dari yang kita harapkan," urainya.

RUU Kesehatan sama sekali tidak membahas komoditas yang berdampak pada kesehatan. Entah kenapa, tiba-tiba di DIM (Daftar Isian Masalah) pemerintah menyebutkan atau memasukkan pasal yang menyebutkan bahwa tembakau itu mengandung zat adiktif yang disetarakan dengan narkoba. "Itu tidak benar karena dalam RUU ini tidak mengatur komoditi. RUU ini mengatur tata kelola daripada sistem pelayanan kesehatan. Oleh karena itu saya juga merasa kok pemerintah tidak paham? Artinya Kementerian Kesehatan dapat dari mana? Itu yang kita pertanyakan."

Atas dasar itu, Fraksi Partai Golkar sudah secara resmi meminta agar menghapuskan Pasal 154 yang berisi pernyataan rokok mengandung zat adiktif atau mengandung narkoba. Bunyi pasal tersebut tidak benar sehingga harus dicabut.

Sependapat dengan Firman Subagyo, Ketua APTI Jawa Barat Suryana menegaskan pihaknya tidak menolak RUU Omibuslaw Kesehatan. Yang ditolak ialah Pasal 154 yang salah satunya menyebutkan tembakau ataupun rokok mengandung zat adiktif yang berbahaya sehingga rokok disamakan dengan narkoba. "Kami dengan tegas menolak pasal yang menyamakan narkoba sama dengan rokok atau tembakau. Kami meminta itu segera dicabut. Tapi Undang-Undang Kesehatan kami terima," tegas Suryana.

Lebih lanjut Suryana menegaskan, kalau Pasal 154 tetap dimasukan dalam RUU Kesehatan tersebut, keberlangsungan industri tembakau dapat terancam dan akhirnya akan berdampak kepada para petani tembakau. "Kami meminta pemerintah tidak bersikap munafik. Uang pajak dari industri hasil tembakau yang berjumlah ratusan triliun diambil digunakan untuk pembangunan tetapi industri rokok dan tembakaunya justru dimatikan, bahkan disamakan dengan narkoba. Karena itu, kami meminta Pasal 154 dicabut. Jika tidak dicabut, hal ini akan memunculkan kemarahan dari petani dan pekerja industri tembakau di seluruh Indonesia," tegas Suryana. (Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat