visitaaponce.com

Pemerintah Diminta Kaji Ulang Pemungutan PPN Fintechdan Permenkeu No 692022

Pemerintah Diminta Kaji Ulang Pemungutan PPN 'Fintech' dan Permenkeu No 69/2022
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat.(Ist/IEF)

PEMERINTAH diminta mengkaji ulang pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 69 Tahun 2022 yang berlaku mulai 1 Mei 2022 lalu.

Melalui Permenkeu tersebut, jasa penyelenggara teknologi finansial wajib memungut PPN sebesar 11% atas layanan yang diberikan.

Adapun, menurut PMK 69 tersebut, jenis-jenis layanan fintech yang menjadi objek PPN antara lain penyediaan jasa pembayaran, settlement investasi, crowdfunding, peer-to-peer (P2P) lending, pengelolaan investasi, dan layanan jasa keuangan lainnya.

Baca juga: 15.419 Wajib Pajak Lebih Bayar, Proses Pengembaliannya akan Menjadi 15 Hari

Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat mengatakan penerapan PPN tersebut bertentangan dengan Undang-Undang (UU) PPN sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Pasal 16 B ayat (1a) huruf f bahwa Jasa Keuangan diberikan fasilitas PPN dibebaskan.

Terlebih dalam UU No. 21 Tahun 2021 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), diatur bahwa Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa Keuangan lainnya.

“Sedangkan, P2P lending sendiri dikategorikan sebagai jasa keuangan lainnya sesuai dengan peraturan OJK, yakni peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016,” tutur Ariawan di Jakarta Senin, (28/8).

Baca juga: Raih US$153 Juta, Ajaib Jadi Unicorn Fintech Investasi Pertama di Asia Tenggara

Ariawan melihat, setidaknya ada tiga dampak atas lahirnya Permenkeu 69 tersebut pertama, pengenaan PPN terhadap industri peertopeerlandingtidak tepat karena ada ikonsistensi.

“DJP harus konsisten dengan aturan yang ada bahwa jasa keuangan termasuk ke dalam Jasa Kena Pajak (JKP) yang dibebaskan pengenaan PPN-nya,” tegas Ariawan.

Kedua, secara nature business, P2P lending tak ubahnya seperti lembaga jasa keuangan bank. Misalnya, melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kepada masyarakat melalui bentuk pinjaman. Dengan demikian, sudah sepatutnya dipandanng sama dalam hal perlakuan PPN-nya.

Baca juga: OJK Terbitkan Peraturan Perubahan Penyelenggara Layanan Urun Dana

“Bank bertindak sebagai bridge atau perantara, demikian juga dengan peer to peer lending company,” jelas Ariawan.

Ketiga, dengan pengenaan PPN ini, jelas secara tidak langsung yang akan menanggung beban adalah si pengguna jasa, yakni dalam hal ini pihak borrower.

“Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan hendaknya perlu lebih bijak dalam menetapkan pengenaan pajak. Dalam konteks PMK 69 ini maksud awalnya adalah ingin melakukan upaya ekstensifikasi perpajakan, tetapi jangan sampai malah merusak ekosistem perekonomian kita,”tutur Ariawan.

Apalagi, atas perlakuan PMK 69 ini, Ariawan sering kali mendengar adanya keluhan dari pelaku usaha P2P lending, di mana mereka diminta untuk membayarkan PPN-nya untuk periode sebelum PMK-69/2022 ini berlaku.

Baca juga: Menkeu: PPN masih 11% pada 2024

Ditjen Pajak, Kemenkeu, beralasan bahwa PMK-69/2022 bukanlah menetapkan objek pajak baru, melainkan hanya penegasan semata di mana P2P lending adalah sebagai platform teknologi yang mempertemukan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman, kemudian P2P lending memperoleh komisi dari kegiatan tersebut.

“Ini jelas pemikiran yang keliru dan terkesan bekerja secara sembrono tanpa kaidah hukum berlaku. Petugas pajak atau fiscus memaksa pembayaran PPN sebelum era PMK69/2022 ini, sedangkan pengaturannya saja baru diberlakukan sejak 1 Mei 2022. Kenapa malah meminta pembayaran untuk PPN di tahun-tahun sebelumnya?” kata Ariawan. 

Ariawan mendorong pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan lebih responsif dan peka terhadap keluhan yang ada di masyarakat, ketika ada praktik-praktik pemaksaan pembayaran pajak diluar kaidah hukum yang berlaku.

Untuk itu, Ariawan meminta otoritas pajak mengecek informasi tersebut agar ada solusi dan kesan humanis bahwa otoritas pajak telah bekerja dengan profesional, bertanggungjawab serta akuntabel. (RO/S-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat