visitaaponce.com

Di Tengah Kontroversi, Pelaku UMKM Curhat Soal Pentingnya Social Commerce

Di Tengah Kontroversi, Pelaku UMKM Curhat Soal Pentingnya Social Commerce
Ilustrasi. Social commerce TikTok Shop.(Ist/Ilustrasi)

BELAKANGAN ini, pemerintah menyinggung bahwa kehadiran social commerce dianggap membahayakan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Penyebabnya banyak pelaku UMKM mengaku merasa kalah bersaing dengan penjual dari social commerce.

Menanggapi hal ini, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan mengatakan bahwa media sosial dan e-commerce tidak boleh beroperasi secara berbarengan.

Baca juga: Pengamat: Social Commerce Justru Untungkan Penjual dan Konsumen

Perubahan dari kebijakan ini nantinya akan dituangkan dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020.

Terlepas dari kontroversi yang sedang terjadi, sejumlah pihak menilai social commerce menawarkan pengalaman bertransaksi yang lebih mudah baik untuk penjual maupun pembeli.

Kebebasan Akses yang Ditawarkan Media Sosial

Kebebasan akses yang ditawarkan oleh media sosial memudahkan para calon pembeli untuk berbelanja di mana saja, dan kapan saja, tanpa harus terhalang oleh tempat dan waktu.

Bagi para penjual, social commerce juga memungkinkan mereka untuk melakukan transaksi secara efisien, dan mengantarkan mereka langsung ke target pasar yang dikehendaki.

Hal ini juga dirasakan oleh Andre Oktavianus, pemilik Kiminori Kids, produsen pakaian anak yang sudah mulai merambah pasar digital sejak 2018.

Baca juga: Pemerintah Dukung Transformasi Digital UMKM dan Social Commerce

Andre memilih untuk menjajaki pasar online karena merasa peluang yang ada cukup menjanjikan, serta mempermudah distribusi. Dari beberapa kanal jual-beli virtual yang Andre pilih, TikTok Shop adalah salah satunya.

Sejak bergabung dengan TikTok Shop di September 2022, Andre merasakan banyak manfaat.

Selain pertumbuhan bisnis yang terus meningkat, Andre juga dapat bertemu dengan banyak orang dan membangun jaringan yang luas.

Rambah Pasar Nasional

Melalui TikTok Shop, sekarang pembeli produk-produknya sudah tersebar di seluruh Indonesia.

“Setelah bergabung dengan TikTok Shop, saya tidak hanya mendapatkan keuntungan bisnis, tapi juga jejaring yang luas karena TikTok Shop dengan fitur livenya memungkinkan interaksi langsung dengan konsumen," ujarnya dalam keterangan pers, Sabtu (16/9).

Baca juga: Dua Usulan Kemenkop-UKM untuk Lindungi Produk UMKM dari e-Commerce

Selain membangun bisnis dan network, Andre melihat social commerce juga mempermudah masyarakat dalam mencari penghasilan tambahan dengan modal seminimal mungkin.

 Ia mengambil contoh program afiliasi di TikTok, di mana pengguna dapat menjadi reseller produk-produk Kiminori Kids dengan mudah.

Pada saat lebaran tiba, Andre mengungkapkan bahwa jumlah affiliator Kiminori Kids dapat mencapai 200 orang lebih.

“Affiliator ini seperti reseller, dan ini hanya ada di TikTok Shop. Pada prinsipnya, siapa saja bisa mencari tambahan pendapatan sebagai reseller kami, mulai dari ibu rumah tangga hingga orang-orang yang mungkin masih sekolah," jelasnya.

"Modalnya juga tidak sulit, bahkan telepon genggam saja sudah cukup. Mekanisme ini membantu untuk membuka peluang seluas-luasnya bagi siapapun yang sedang membutuhkan, apalagi di masa pasca-pandemi ini banyak orang yang masih membutuhkan penghasilan,” tutur Andre.

Baca juga: 

Bahkan, menurut Andre, ada beberapa affiliator yang bercerita kalau mereka memanfaatkan waktu di sela-sela kesibukan mereka sebagai ibu rumah tangga.

Sebagian Affiliator, Ibu Rumha Tangga 

"Kebanyakan affiliator kami adalah ibu rumah tangga. Saya beberapa kali menjumpai seorang affiliator yang live waktu subuh, dan saat saya tanya beliau menjelaskan pada saya kalau ia memanfaatkan waktu kosong sebelum mempersiapkan sarapan dan membangunkan anaknya untuk sekolah. Banyak affiliator kami yang juga membagikan pengalaman serupa," ungkap Andre.

Ia juga menambahkan bahwa mayoritas affiliator yang bergabung sebagai reseller Kiminori Kids berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah dan tinggal di luar pulau Jawa.

TikTok Bantu EatSambel dengan Target Pasar

Yansen Gunawan, pendiri EatSambel mengatakan bahwa TikTok membantu mempertemukan EatSambel dengan target pasar yang hendak dituju.

Selain itu, melalui fitur TikTok Live, EatSambal dapat mendeskripsikan secara langsung cita rasa yang ditawarkan masing-masing varian sambal, serta menunjukkan tekstur dan bahan yang terkandung dalam produk pada calon pembeli.

Baca juga: Permendag Baru Bakal Pisahkan Izin Medsos dan Social Commerce

"Bagi EatSambal, fitur ini dinilai sangat cocok untuk mengiklankan makanan, karena penonton Live bisa mendapatkan gambaran produk sebelum melakukan checkout," ujar Yansen yang akrab dipanggil Mas Yangun oleh pengikut EatSambel.

Sebelum menggunakan fitur TikTok Shop untuk berjualan, Yansen sudah lebih dulu memanfaatkan TikTok untuk menunjukkan kreasi masakannya serta membangun kedekatan dengan penonton.

Salah satu ciri khas video-video unggahan EatSambel yang paling menarik penonton adalah kehadiran kedai tradisional yang menjadi tempat Mas Yangun memasak sambal.

Elemen ini dihadirkan oleh Yansen untuk menekankan cita-citanya dalam menyebarkan resep-resep tradisional sambal yang diwariskan secara turun temurun di keluarganya pada masyarakat Indonesia.

Baca juga: Transaksi di E-Commerce Lebih Aman ketimbang Social Commerce

“Tidak seperti di kanal-kanal transaksi lainnya, TikTok itu ibaratnya segala ada di satu tempat. Orang-orang bisa berbelanja sambil melihat-lihat konten, jadi kalau mereka tidak tertarik untuk berbelanja, mereka bisa menonton video-video yang menghibur,” ungkap Yansen.

EatSambel sendiri telah bekerjasama dengan beberapa kreator konten ternama seperti Fadil Jaidi, Chris Putra, dan Tanboy Kun.

Di samping produk-produk sambal, para pengikut EatSambel juga dihibur dengan video-video komedi seputar kelakuan unik Yansen dan karyawan-karyawannya.

Terkait dengan kontroversi social commerce, praktisi ekonomi digital Ignatius Untung menilai bahwa kehadiran social commerce di Indonesia sangat membantu penjual menjajakan produknya ke target pasar yang dituju.

Baca juga: TikTok akan Larang Pengguna Hadirkan Tautan dari E-Commerce Lain

"Kalau memang ada inovasi untuk menggabungkan dua layanan ini di dalam satu platform dan memudahkan penjual dan konsumen, kenapa tidak?” ujar Untung saat dihubungi pada Jumat (8/9).

"Mereka bisa melakukan transaksi langsung secara praktis tanpa harus berganti aplikasi,” tambahnya.

Untung menilai, konsumen mendapat manfaat dari kehadiran social commerce. Sebab, konsumen bisa langsung mendapatkan rekomendasi produk yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan ketertarikan mereka di dalam satu platform.

Diskon Harga dan Ongkos Kirim sebagai Strategi Tarik Pembeli

Selain itu, Untung juga menilai bahwa promo diskon harga dan ongkos kirim yang sering dilakukan oleh kanal social commerce adalah strategi yang lumrah dilakukan untuk menarik minat pembeli dan sudah dilakukan sejak kanal e-commerce mulai marak digunakan di tahun 2014 hingga 2015, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai predatory pricing.

“Sebenarnya pertanyaannya adalah siapa yang paling diuntungkan dari peraturan yang diusulkan tersebut? Siapa yang paling punya kepentingan dengan regulasi yang sedang digodok?" kata Untung.

"Yang jelas, bukan penjual yang sebagian besar merupakan UMKM dan juga keluarga-keluarga menengah ke bawah yang selama ini diuntungkan dengan adanya social commerce," tutup Untung. (RO/S-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat