visitaaponce.com

Penjaminan APBN di KCJB Rusak Reputasi Indonesia

Penjaminan APBN di KCJB Rusak Reputasi Indonesia
Rangkaian kereta penumpang atau electric multiple unit (EMU) Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB)(Dok. KCIC )

ANGGOTA Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amin Ak menuturkan, menjadikan APBN sebagai jaminan dalam sebuah proyek akan memunculkan risiko besar dan memengaruhi perekonomian secara umum. Itu juga dinilai bakal merusak reputasi dan peringkat utang Indonesia di level global.

“Penjaminan oleh APBN juga bisa merusak reputasi dan peringkat utang pemerintah, yang pada gilirannya akan memengaruhi tingkat suku bunga pinjaman surat berharga negara (SBN) yang sudah tinggi,” tuturnya saat dihubungi, Rabu (20/9).

Amin menambahkan, menjadikan APBN sebagai jaminan utang dari proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) akan menjadi beban tambahan bagi masyarakat. Sebab, uang negara harus mengalokasikan pembayaran utang proyek selama puluhan tahun dan menambah beban fiskal.

Baca juga: Wamen BUMN: Bunga Utang Proyek Kereta Cepat Sekitar 3%

Mestinya, pemerintah konsisten dengan apa yang sebelumnya disampaikan, yaitu tak menyentuh sama sekali anggaran negara dalam pembangunan dan pelaksanaan proyek kereta cepat. Proyek tersebut seharusnya dilakukan dengan skema business to business (B to B), alih-alih melibatkan uang publik di dalamnya.

“APBN harus tetap dijaga agar tidak dilibatkan dalam penjaminan utang proyek seperti ini. APBN seharusnya merupakan entitas yang terpisah dari urusan tersebut,” terang Amin.

Baca juga: Diimplementasikan 15 September, SRBI Diharapkan Mendorong Masuknya Dana yang Likuid

Gayung bersambut, beban keuangan akan menjadi semakin besar lantaran ambisi memindahkan dan membangun Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Kendati porsi pembiayaan yang bersumber dari APBN atas proyek tersebut hanya berkisar 20%, Amin menilai pemerintah gagal menentukan skala prioritas.

Sebab, setiap tahunnya utang negara terus bertambah. Dari catatan Amin, level utang Indonesia saat ini berkisar Rp7 ribu triliun dan berpotensi naik menjadi Rp10 ribu triliun di 2024. Beban utang itu dinilai sudah cukup besar untuk dipikul.

“Oleh karena itu, membangun ibu kota baru bukanlah prioritas yang tepat dan langkah yang benar saat ini. Ini hanya akan menambah beban perekonomian dan memperumit persoalan yang dihadapi oleh pemerintah,” pungkas Amin. (Mir/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat