visitaaponce.com

Kepailitan dan PKPU Kini Tren Pengambilalihan Aset

Kepailitan dan PKPU Kini Tren Pengambilalihan Aset
Webinar Diskursus Kepailitan dan PKPU yang diselenggarakan Indonesia Law and Democracy Studies (ILDES) di Jakarta, Senin (24/9/2023).(Dokpri.)

BANYAK perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dijadikan upaya penyelesaian kewajiban debitur kepada kreditur. Hal ini karena perusahaan-perusahaan masih terbebani utang buntut dari pandemi. Namun demikian, PKPU dan kepailitan kini juga dijadikan upaya mengambil alih aset debitur secara ilegal.

"PKPU dan kepalilitan bukan hal baru. Namun sekarang bisa mengarah ke moral hazard, semisal tidak suka dengan pesaing, orang dengan mudah mendapatkan aset dari pesaingnya dengan harga yang murah," ujar pakar hukum PKPU dan Kepailitan Teddy Anggoro dalam Webinar Diskursus Kepailitan dan PKPU yang diselenggarakan Indonesia Law and Democracy Studies (ILDES) di Jakarta, Senin (24/9/2023).

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) itu menambahkan, maraknya PKPU dan Kepailitan karena syarat pengajuannya sudah berubah. Hal itu terjadi pascakrisis 1998 saat syarat PKPU dan kepailitan sebelumnya ialah ketidakmampuan membayar berubah menjadi jumlah debitor yang memiliki tagihan. "Kepailitan dan PKPU selalu meningkat setiap tahun. Dengan berubahnya syarat kepailitan, menjadi booming. Masalah kepailitan bisa membuat orang jadi kaya raya," paparnya. Biaya kepailitan pun mencapai 22% sehingga berpotensi disalahgunakan.

Baca juga: Mudahkan Masyarakat, Sistem Perpajakan Core Tax Diluncurkan 2024

Dia mengatakan, tak hanya di Indonesia, dunia pun terjadi hal yang sama. Dengan beberapa kali kejatuhan perekonomian dunia, International Mentary Fund (IMF) menyarankan salah satu cara menagih utang-utang yang tak dapat ditagih, syaratnya harus diubah menjadi menggunakan syarat minimum kreditur. Hal itu terbukti efektif karena debitur harus menyampaikan proposal perdamaian. "Tetapi dalam praktiknya banyak moral hazard dengan  memanfaatkan PKPU ini," tegasnya. Masalah moral hazard, lanjut dia, harus mendapatkan perhatian.

Soalnya, dengan maraknya pengajuan PKPU dan Kepailitan, banyak juga penerapan hukum yang tidak tepat. "Bukan karena undang-undangnyanya tetapi karena oknum-oknumnya," paparnya. Dia memberikan contoh, debitur pailit baik perorangan maupun berbadan hukum (perusahaan) tidak bisa diajukan PKPU kepada ahli warisnya. "Itu tidak ada jalur hukumnya. PKPU tidak diturunkan," tegasnya.

Baca juga: Permendag Direvisi, Sosial Media tidak Boleh Melakukan Transaksi Penjualan Produk

Praktisi hukum Damianus Renjaan mengatakan banyak terjadi kejanggalan proses dalam PKPU. Dia memberikan contoh, saat ini sedang menangani permohonan PKPU dengan termohon yakni Ery Said, putra tunggal mendiang Eka Rasja Putra Said yang wafat pada 16 September 2022. Almarhum Eka yang semasa hidupnya menjabat sebagai Presiden Komisaris PT Krama Yudha merupakan putra pendiri PT Krama Yudha H. Sjarnoebi Said. Perkara PKPU tersebut diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta pada 7 September 2023 yang diketuai oleh Dewa Ketut Kartana, S.H., M.Hum. "Putusan tersebut menurut kami keliru karena para termohon PKPU belum memperoleh ahli penetapan sebagai ahli waris tetapi seolah dipaksa untuk bertanggung jawab melakukan pembayaran bonus berdasarkan akta 78 yang sebelumnya tidak pernah diketahui oleh para termohon PKPU sebagai ahli waris," tegas Damianus yang juga kuasa hukum Ery Said.

Namun demikian, Damianus mengaku, para termohon akan mengikuti proses hukum yang berlangsung. "Kami menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Namun pengadilan niaga seharusnya tidak gegabah menjatukan putusan PKPU terhadap klien kami," tegasnya. Ahli waris, imbuhnya, tidak dapat dikenakan PKPU karena tidak ada dasar hukumnya di undang-undang kepailitan. Jika dipaksakan, hal itu berpotensi menjadi dasar yang bisa digunakan oleh siapapun untuk merugikan masyarakat. "Bagaimana perlindungan hukum bagi ahli waris yang tidak mengetahui perjanjian yang dibuat pewaris?" tegasnya.

Sedangkan kurator dan pakar hukum Dr Megawati Prabowo, SH, M.Kn mengatakan banyaknya pengajuan PKPU lantaran dalam proses penagihan utang melalui jalur perdata butuh waktu lama. Sedangkan proses PKPU lebih cepat. "Jadi apabila majelis hakim yang memeriksa bahwa syarat yang sudah tertera dalam UU terpenuhi, majelis hakim bisa menutus PKPU. Apabila diajukan oleh kreditur waktunya 20 hari, jika oleh debitur cukup 3 hari," ujarnya.

Dia mengatakan ada perbedaan antara kepailitan dan PKPU. Kepailitan ada proses pemberesan, kurator berwenang melakukan penjualan aset yang hasilnya akan dibagikan ke kreditur. Sedangkan di PKPU, kurator dan debitur bersama melakukan restrukturisasi dan tidak ada upaya pemberesan. "Proses PKPU mensyaratkan kehadiran debitur. Jika debiturnya meninggal, yang mengajukan restrukturisasi siapa? Yang benar ialah kepailitan terhadap harta peninggalan," tegasnya.

Dia pun menilai perlu ada revisi UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan untuk memberikan kepastian hukum bagi individu mapun badan hukum dalam menjalankan usahanya di Indonesia. "Ada masalah moral hazard sehingga perlu  revisi UU Kepalitan dan PKPU, terutama terkait syarat pengajuan PKPU yang bisa disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu, termasuk pengurus untuk memperoleh fee. Debitur yang selayaknya mengajukan PKPU, karena debitur yang tahu kondisi perusahaan," paparnya.

Sedangkan Anggota Tim Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung Aria Suyudi mengatakan dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU bertujuan restrukturisasi. Namun, saat ini PKPU karena dijadikan sarana yang paling mudah untuk menagih utang. "Semestinya PKPU ranah bilateral antara kreditur dan debitur untuk menyelesaikan masalah utang. Sekarang trennya untuk mengganggu debitur. Segala sesuatu kini jadi masalah saat pintu mengajukan PKPU dibuka," tegasnya. (RO/Z-2)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Wisnu

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat