visitaaponce.com

Pengakuan Nilai Karbon Bentuk Optimalisasi Ekonomi Hijau

Pengakuan Nilai Karbon Bentuk Optimalisasi Ekonomi Hijau
Ilustrasi(Freepik)

EKONOMI hijau merupakan salah satu potensi perekonomian Indonesia di masa depan yang harus dioptimalkan. Pengembangan ekosistem dan pengerukan manfaat secara luas perlu dilakukan demi kepentingan ekonomi berkelanjutan sekaligus menjaga lingkungan.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan, salah satu wujud optimalisasi tersebut ialah melalui pengakuan karbon yang memiliki nilai ekonomi.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden 98/2021tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

Baca juga : Presiden Jokowi Luncurkan Bursa Karbon Indonesia

"Dengan kita akuinya ada nilai ekonomi karbon, maka karbon yang dihasilkan oleh hutan ada nilai ekonominya. Karbon itu bisa dijual dan ada yang mau beli," terangnya saat memberikan kuliah umum di Universitas Lambung Mangkurat bertema Sinergi Kebijakan Fiskal dalam Mendorong Transformasi Ekonomi Menuju Indonesia Maju yang disaksikan secara daring, Jumat (29/9).

Suahasil mengatakan, dengan pengakuan tersebut, maka akan timbul keselarasan dalam upaya menumbuhkan perekonomian dan melestarikan alam. Sebab, prinsip dasar dari hal itu ialah menjaga keberlanjutan ekonomi yang ramah lingkungan, alias hijau.

Baca juga : PLN Bersiap Melantai di Bursa Karbon Indonesia

Misal, selama ini perusahaan yang mendapat konsensi hutan kerap memanfaatkan kekayaan hutan untuk kelangsungan bisnis. Umumnya perusahaan akan melakukan pembalakan secara masif demi mencapai profit.

Namun hal tersebut mulai diubah setelah diakuinya nilai ekonomi karbon. "Logika yang lebih berkelanjutan. Konsesi hutan bukan untuk tebang kayu, tapi untuk dijaga karena kalau kayunya ada karbon offset-nya, bisa dihitung (nilainya). Jadi, ini adalah bisnis masa depan," terang Suahasil.

Melalui nilai ekonomi karbon, pemerintah turut memetakan dua mekanisme perdagangan karbon di Tanah Air. Pertama, perdagangan emisi karbon (emission trading system/ETS). Melalui mekanisme itu, pemerintah menetapkan batas atas perdagangan karbon.

Pemerintah juga memberikan allowance kepada pelaku usaha pada mekanisme tersebut. Perdagangan karbon dilakukan atas surplus, yakni pemakaian allowance di bawah batas atas yang ditentukan.

Mekanisme perdagangan karbon kedua ialah pengimbangan gas emisi rumah kaca (offset). Mekanisme ini dipakai pada pengurangan emisi gas rumah kaca yang dilakukan oleh usaha dan atau kegiatan untuk mengompensasi emisi yang dibuat di tempat lain.

Adapun ekosistem perdagangan karbon terdiri dari pelaku yang meliputi pelaku usaha, pengembang proyek, korporasi, dan institusi keuangan dan perantara. Pelaku perdagangan karbon melakukan transaksi di pasar primer dengan memanfaatkan Sistem Registrasi Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) yang telah terintegrasi dengan bursa karbon di pasar sekunder. (Z-4)

 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat