visitaaponce.com

Pelemahan Nilai Rupiah Diprediksi Terus Berlangsung di Era Suku Bunga Tinggi

Pelemahan Nilai Rupiah Diprediksi Terus Berlangsung di Era Suku Bunga Tinggi
Ilustrasi nilai tukar rupiah(Mi/M Irfan)

DIREKTUR & Founder Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan kebijakan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7DRR) memang diproyeksikan akan naik sekitar 25 basis poin.

"Ini mempertimbangkan pelemahan nilai tukar rupiah bersifat masif atau akan terus terjadi," kata Bhima, Kamis (19/10).

Sementara, apabila dilihat surplus perdagangan memang masih terjadi, tetapi impor bahan baku dan impor barang modal sebenarnya mengalami penurunan.

Baca juga : Pengamat: Menaikkan BI Rate, Langkah Antisipatif Jaga Rupiah Menghadapi Kenaikan Fed Rate

Selain itu juga beberapa barang komoditas ekspor unggulan mulai tertekan, terutama akibat pelemahan ekonomi Tiongkok.

"Hanya saja, implikasi dari kenaikan suku bunga ini kepada sektor riil, membuat rupiah mungkin masih bisa terjaga. Tapi justru di sektor riil ini akan sangat terpengaruh, misalnya dari penyesuaian suku bunga modal kerja, kredit modal kerja yang akan berpengaruh juga terhadap UMKM, pelaku industri manufaktur, sektor konstruksi, dan ini akan berakibat juga pada pelemahan dari sisi produksi," kata Bhima.

Baca juga : Jaga Stabilitas dan Ekonomi Berkelanjutan, Bank Indonesia Siapkan 7 Strategi

Dari sisi konsumen, sebelum adanya kenaikan suku bunga, pertumbuhan KPR juga belum optimal pascapandemi. Kemudian ketika saat ini ditambah dengan kenaikan suku bunga, maka makin banyak masyarakat yang menimbang kembali untuk mengambil fasilitas KPR.

Efek dari suku bunga yang naik ke sektor riil ini bisa menghambat konsumsi rumah tangga, pertumbuhan industri pengolahan, pertumbuhan kinerja ekspor karena berpengaruh terhadap penyaluran kredit ekspor, dan juga pada sikap dari perbankan untuk lebih hati-hati.

Alasannya dengan kalau suku bunga naik berarti resikonya semakin tinggi. Sehingga perbankan lebih selektif memilih calon debitur.

"Ini bisa berpengaruh juga pada penyaluran kredit di tahun 2024. Ini situasi yang tidak menguntungkan sektor riil. Jadi hanya temporer menjaga fluktuasi nilai tukar Rupiah. Tapi bagi sektor riilnya tidak terlalu menolong," kata Bhima.

Bhima memandang, kenaikan suku bunga BI Rate diproyeksikan masih terus berlanjut antara 25 sampai 50 basis poin.

"Intinya sebelum Pemilu, rupiah harus tetap dijaga di bawah level Rp16.000/US$1. Itu butuh usaha yang ekstra keras. Tentunya bisa juga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi sulit untuk menembus angka 5% untuk 2023, terutama di kuartal IV," kata Bhima.

Selain itu juga efek dari kenaikan suku bunga, membuat investor masuk ke pasar Surat Berharga Negara (SBN). Sebab spread/ selisih dari imbal hasil The Fed dengan SBN menjadi sedikit lebar akibat efek kenaikan suku bunga.

Tetapi kalau Fed Red akan naik di bulan Desember 2023, ini akan menekan BI lagi untuk kembali menaikkan suku bunga lebih tinggi.

"Jadi era suku bunga rendahnya sudah berakhir, bahkan ini bisa lebih tinggi daripada rata-rata suku bunga sebelum pandemi," kata Bhima.

Kenaikan suku bunga bukan karena tekanan inflasi domestik, tapi lebih karena tekanan eksternal yang sedang menguat. Maka BI harus lebih kerja keras pada devisa hasil ekspor terus didorong, kemudian dikonversi ke rupiah, dan memastikan juga impor pangan bisa ditekan dari sisi pemerintah. Tujuannya agar tidak terlalu banyak membutuhkan valas.

Cara lainnya yaitu harus diversifikasi ekspor, tetapi itu tidak bisa dilakukan pada jangka pendek. Untuk jangka pendek, yang perlu dilakukan dari sisi moneter dan dorongan fiskal.

"Kasih saja terus insentif untuk industri berorientasi ekspor atau industri yang impor bahan bakunya rendah misalnya. Itu yang harusnya dilakukan," kata Bhima. (Z-5)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat