visitaaponce.com

PLTS Cirata Jadi Tonggak Dekarbonisasi Kelistrikan di Indonesia

PLTS Cirata Jadi Tonggak Dekarbonisasi Kelistrikan di Indonesia
PLTS di Waduk Cirata Purwakarta menjadi yang terbesar di Asia tenggara.(MI/Reza Sunarya)

INSTITUTE for Essential Services Reform (IESR) menilai pengoperasian PLTS terapung Cirata menjadi tonggak akselerasi pengembangan pembangkit listrik tenaga surya berskala besar di Indonesia yang praktis mati suri sejak 2020. 

"Seiring dengan semakin menurunnya biaya investasi PLTS, ini menjadikannya sebagai pembangkit energi terbarukan termurah saat ini," sebut Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam pernyataannya, Kamis (9/11).

Seperti diberitakan, pemerintah telah meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung Cirata di Waduk Cirata, Jawa Barat, berkapasitas 145 MW(ac) atau 192 MW(p), Kamis (9/11). 

Baca juga : PLN Gandeng Perusahaan Arab Saudi untuk Bangun 2 PLTS Terapung

Kini, Indonesia menjadi lokasi PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara yang sebelumnya dipegang oleh PLTS terapung Tengeh di Singapura.

IESR meminta pemerintah mengoptimalkan potensi teknis PLTS yang mencapai 3,7 TWp sampai dengan 20 TWp untuk mendukung tercapainya target puncak emisi sektor kelistrikan di 2030, dengan biaya termurah.

IESR juga mendorong pemerintah dan PLN untuk memanfaatkan potensi teknis PLTS terapung yang mencapai 28,4 GW dari 783 lokasi badan air di Indonesia untuk akselerasi pemanfaatan PLTS.

Baca juga : Cara Kerja Panel Surya serta Kelebihan dan Kekurangan

Data Kementerian ESDM menunjukkan adanya potensi PLTS terapung skala besar yang dapat dikembangkan setidaknya di 27 lokasi badan air yang memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Total potensi mencapai 4,8 GW dan setara dengan investasi sebesar USD 3,84 miliar (Rp55,15 triliun). Pemanfaatan potensi PLTS terapung ini dinilai akan mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan dan meraih target net zero emission (NZE) lebih cepat dari tahun 2060.

IESR meminta pemerintah dan PLN untuk mengoptimalkan potensi PLTS terapung dengan menciptakan kerangka regulasi yang menarik minat pelaku usaha untuk berinvestasi di pembangkit ini. Salah satunya dengan memberikan tingkat pengembalian investasi sesuai profil risiko tetapi menarik dan mengurangi beban tambahan dalam mengelola investasi.

Skema penugasan PLN

Selain itu, pemerintah dinilai perlu memperhatikan skema penugasan PLN kepada anak perusahaannya yang selama ini menjadi opsi prioritas pengembangan PLTS terapung. 

Baca juga : PLN Icon Plus Bangun PLTS Atap 3,5 MWp untuk PT. CJ Feed and Care Indonesia

Melalui skema tersebut, anak perusahaan mencari pihak yang bersedia untuk berinvestasi atau equity investor untuk kepemilikan minoritas tetapi harus mau menanggung porsi equity yang lebih besar melalui pinjaman pemegang saham (shareholder loan).

“Skema ini menguntungkan PLN, tetapi memangkas pengembalian investasi bagi investor dan beresiko pada bankability proyek dan minat pemberi pinjaman," kata Febby.

Menurutnya, skema itu juga dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat di antara para pelaku usaha. Pasalnya, hanya mereka yang punya ekuitas besar yang bisa bermitra dengan PLN dan itu mayoritas investor asing. Hal tersebut dapat berdampak pada minat investasi secara keseluruhan.

Baca juga : Sukses di Cirata, Pemerintah Berambisi Bangun PLTS Terapung di Lokasi Lain

Solusinya, menurut Fabby, dibutuhkan dukungan pemerintah dengan cara pemerintah memperkuat permodalan PLN dan anak perusahaannya melalui penyertaan modal negara (PMN) khusus untuk pengembangan energi terbarukan. "Dan/atau memberikan pinjaman konsesi kepada PLN melalui PT SMI yang kemudian dapat dikonversi sebagai kepemilikan saham pada proyek PLTS terapung," jelasnya.

Indonesia dapat meraup potensi investasi dan listrik rendah emisi dari PLTS terapung dengan dukungan regulasi yang pasti dan mengikat dari pemerintah. Pada Juli 2023, pemerintah telah menerbitkan Permen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat Nomor 27/PRT/M/2015 tentang Bendungan yang tidak lagi membatasi luasan badan air di waduk yang dapat dimanfaatkan untuk PLTS terapung di angka 5%.

Peraturan tersebut membuka peluang pengembangan PLTS terapung dengan skala yang lebih besar, dengan catatan bila menggunakan luasan badan air lebih dari 20%, perlu mendapatkan rekomendasi dari Komisi Keamanan Bendungan.

Baca juga : Kembangkan EBT, PLN Tandatangani Perjanjian Jual Beli Listrik PLTS Bangka 10 MWac 

Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR Marlistya Citraningrum memandang hal itu menjadi salah satu peluang untuk mengatasi permasalahan lahan dalam pengembangan PLTS.

“Ketersediaan lahan kerap menjadi hambatan dalam pengembangan PLTS, terutama di wilayah yang sudah padat dengan harga lahan tinggi, juga tutupan lahan yang bisa jadi tidak sesuai untuk PLTS, misalnya terlalu curam atau merupakan lahan pertanian produktif," katanya.

Menurut Marlistya, Indonesia juga memiliki cukup banyak bendungan, baik dengan PLTA atau tidak, yang bisa digunakan sebagai lokasi potensial. Proyek Hijaunesia 2023 misalnya, telah menawarkan pengembangan PLTS terapung di Gajah Mungkur, Kedung Ombo, dan Jatigede dengan kapasitas masing-masing 100 MW.

Baca juga : Dukung Pembangun IT PLN, PLN EPI Siapkan Infrastruktur Sulap Jadi Showcase Bangunan Rendah Karbon

Meski demikian, kata Marlistya, keseluruhan proses perencanaan, pelelangan, hingga pembangunan PLTS terapung di Indonesia masih perlu ditingkatkan efektivitasnya.

Meski menjadi flagship project dan bentuk kerjasama antar pemerintah (G2G), lini masa penyelesaian PLTS terapung Cirata cukup panjang. Hal tersebut diawali dengan nota kesepahaman Indonesia dan Uni Emirat Arab pada 2017 dan pembentukan joint venture PJB Investasi dengan Masdar di tahun yang sama. Penandatanganan PJBL baru dilakukan di 2020 dan financial closing di 2021. Panjangnya proses ini mengurangi daya tarik investasi PLTS terapung di Indonesia.

Pengembangan rantai pasok komponen PLTS dan PLTS terapung di Indonesia juga terbuka lebar, termasuk untuk sel dan modul surya. Tidak hanya untuk pasar dalam negeri yang saat ini belum mencapai 1 GW, sel dan modul surya dengan kriteria tier 1 yang diproduksi di Indonesia juga ditujukan untuk pasar mancanegara.

Baca juga : PLN Energi Primer Dorong Insinyur Muda Kembangkan Sistem Kelistrikan Indonesia

Pabrikan sel dan modul surya tier 1 asal Tiongkok, Trina Solar, telah bekerja sama dengan Sinarmas untuk membangun pabrik sel dan modul surya terintegrasi di Kawasan Industri Kendal, Jawa Tengah dengan kapasitas produksi 1 GW/tahun. (Z-4)

 

Baca juga : Saat Negara Hadir Bersama PLN Melistriki Hingga ke Pelosok

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat