visitaaponce.com

Industri Galangan Kapal Topang Ekonomi Biru

INDUSTRI galangan kapal (shipyard) menjadi salah satu industri prioritas di dalam pengembangan ekonomi biru (blue economy). Pasalnya, Indonesia sebagai kekuatan maritim dengan laut yang sangat luas membutuhkan banyak kapal, termasuk tempat perawatan (maintenance) dan perbaikan (repair).

Hal tersebut dibuktikan dalam kunjungan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) bersama awak media ke kawasan industri galangan kapal di Batam, Kepulauan Riau, Selasa (19/12). Selain menyediakan kebutuhan produksi, perawatan, dan perbaikan kapal, industri galangan kapal mengahdirkan multiplier effect yang besar.

Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti menyebut potensi dari industri galangan kapal ini akan lebih didorong untuk menopang pertumbuhan ekonomi biru. "Ekonomi biru itu lintas sektor. Salah satu sektor yang prioritas dalam blue economy adalah industri galangan kapal," ungkapnya di sela-sela kunjungan di salah satu perusahaan galangan kapal di Batam, Selasa (19/12).

Baca Juga: Kontribusi PDB Maritim Indonesia Baru 7%, Ekonomi Biru Perlu Dieksplorasi

Pemerintah mengupayakan agar kebutuhan kapal-kapal di Indonesia bisa dipenuhi oleh industri-industri yang berada di Tanah Air. Amalia mencontohkan Kepulauan Riau, khususnya Batam, sebagai salah satu pusat industri galangan kapal di Indonesia yang memiliki potensi besar. Pasalnya, letak Kepri sangat strategis sebagai jalur perdagangan internasional.

"Posisi strategis Kepri di dekat Selat Malaka menjadi keuntungan komparatif (comparative advantage) untuk terus bisa mendorong industri galangan kapal," ujarnya.

Baca Juga: Di KTT AIS Forum, Akademisi Angkat Isu Sistem Perikanan Berkelanjutan

Sebagai informasi, proyeksi nilai tambah ekonomi berbasis perairan atau ekonomi biru akan mencapai US$30 triliun pada 2030. Hal itu mengingat strategisnya posisi wilayah perairan Indonesia yang menjadi penghubung lalu lintas perairan internasional melalui tiga jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia. Wilayah laut Indonesia memiliki potensi ekonomi biru yang besar, di antaranya Natuna, Selat Malaka, Teluk Cendrawasih, Selat Capalulu, dan sejumlah lokasi lain.

"Indonesia memang menjadi pionir untuk mengusung tema ekonomi biru di kawasan ASEAN. Indonesia melakukan inisiatif awal karena kita adalah negara ASEAN dengan jumlah laut terbesar. Ekonomi biru menjadi satu hal yang penting untuk didorong karena pada 2045 Indonesia membutuhkan sumber pertumbuhan ekonomi baru," kata Amalia.

Pada kesempatan yang sama, Executive Chairman Batam Shipyard & Offshore Association (BSOA) Novi Hasni Waliulu menyampaikan potensi industri galangan kapal di Batam sangat besar. "Kita lihat Batam ini letak geografisnya sangat strategis, berada di Selat Malaka dan Selat Philips yang dilalui oleh seluruh pelayaran internasional, baik kapal besar atau kapal kecil," katanya.

Berkembang sejak 1990-an, saat ini sudah ada 105 perusahaan galangan kapal di Batam dengan bisnis inti pembangunan baru, repair, dan maintenance. Per tahun, industri galangan kapal di Batam bisa memproduksi kurang lebih 1.000 unit kapal tongkang, 300 unit tugboat, dan 60-70 unit kapal special vessel.

"Untuk tahun 2023, tiga bulan pertama saja kita sudah bisa delivery 500 unit barges (tongkang). Sampai akhir tahun ini lebih dari 1.000," ungkap Novi.

Ia juga memaparkan multiplier effect yang dihasilkan industri galangan kapal di Batam ini. Ia mencontohkan, dalam bidang maintenance dan repair, ada sektor jasa yang terimbas seperti pengisian BBM dan keperluan air bersih ketika kapal mau berangkat. Ketika kapal datang, para kru kapal juga memerlukan tempat tinggal.

Selain itu, industri tersebut juga menyerap tenaga kerja dengan jumlah besar. Satu galangan, kata Novi, minimal mempekerjakan 500 orang. Belum lagi imbas positif kepada sektor UMKM. "Saya kasih contoh UMKM jasa katering untuk makan karyawan. Selebihnya jasa-jasa lainnya seperti logistiknya. Jadi multiplier effect-nya itu kalau kita bedah satu-satu di sektor ekonomi mana saja itu hampir seluruh bidang itu kena," paparnya.

Namun, industri galangan kapal sendiri masih menghadapi banyak tantangan. Contohnya di sisi produksi yakni bahan baku. Novi menyebut bahan baku untuk produksi kapal di Batam maupun di Indonesia 70% masih impor.

"Kami mengharapkan ada industri lokal yang bisa mendukung (produksi). Oke kalau untuk main engine kita masih impor tapi kalau untuk yang lainnya seperti plat (baja), angle bars, kami berharap itu sudah bisa tumbuh industri komponen untuk mendukung industri shipyard," ungkapnya.

Dalam soal perizinan, pihaknya juga meminta lebih dipermudah untuk berkomunikasi atau disediakan help desk. Dari sisi insentif fiskal untuk industri, asosiasi ingin adanya keringanan soal PPh impor.

"Batam ini dengan FTZ (free trade zone/kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas) memang dapat kekhususan, pembebasan bea masuk, PPh, segala macam. Tapi kita masih dikenakan untuk PPh atas impornya itu," kata Novi.

"Produk kita kan dikirimkan untuk dalam dan luar negeri. Kalau untuk luar negeri kita bebas, tidak bayar apa pun. Saat kita mengirimkan produk kita ke luar Batam di Indonesia, kita kena PPh impor. Kembali lagi kenapa kita impor karena belum tercukupi di sini," pungkasnya. (S-1)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Denny parsaulian

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat