NIM Bank di Indonesia Tinggi Terjadi Karena Kesalahan Masa Lalu
![NIM Bank di Indonesia Tinggi Terjadi Karena Kesalahan Masa Lalu](https://disk.mediaindonesia.com/thumbs/800x467/news/2024/01/5b6cf491c276e5ea9db6faf133294d41.jpg)
INDUSTRI perbankan di Indonesia memiliki tingkat margin bunga bersih atau selisih suku bunga deposito dengan suku bunga kredit (net interest margin) yang cukup tinggi di antara negara-negara ASEAN. Saat ini posisi NIM bulanan perbankan komersial 2023 Indonesia berada di level 4,96 persen.
Direktur Riset Core Indonesia Akhmad Akbar Susamto mengatakan salah satu penyebabnya adalah secara historis NIM memang sudah terlanjur tinggi, sejak sebelum Reformasi.
Alasan pertama, di masa lalu perbankan punya semacam 'privilege' ketika jumlah perbankan masih sedikit dan didorong untuk memperbanyak jumlah bank.
Baca juga : Pemerintah Tarik Utang Rp21,75 Triliun dari Lelang Tujuh SUN
Kedua, struktur perbankan di Indonesia meski banknya banyak, tetapi tidak sepenuhnya mendekati persaingan sempurna. Jumlahnya banyak, tapi pelakunya meski mungkin bukan oligopoli, tapi cenderung untuk punya perilaku yang sama.
Baca juga : Kenaikan Suku Bunga BI Lebih Berdampak pada Bunga Deposito
"Mungkin tidak kartel, tetapi juga tidak benar-benar bersaing secara bebas," kata Akbar, pada diskusi Denpasar 12 Edisi 176 Mengenai Prospek Ekonomi Indonesia 2024, Rabu (10/1).
Ketiga, bahwa struktur hubungan antara perbankan dengan Bank Indonesia agak beda dengan kasusnya dengan di Amerika Serikat, misalnya.
Di Amerika, perbankan punya dua cara untuk mendapatkan dana, dari masyarakat atau pinjam di Bank Sentral, kemudian mereka harus bersaing mendapatkan untung dengan cara bersaing menyalurkan dana kepada masyarakat.
Sedangkan di Indonesia, struktur hubungannya, perbankan menerima dana dari masyarakat sebagai sumber pendanaan. Lalu perbankan punya dua cara untuk menyalurkan dana.
Pertama, menyalurkan dana ke masyarakat. Kedua, ditabung di Bank Indonesia.
"Jadi hubungannya beda," kata Akbar.
Maka perbankan di Indonesia punya dua pilihan. Kalau kira-kira aman dan menguntungkan, maka bank akan menyalurkan pinjaman ke masyarakat. Kalau tidak aman, bank memilih menempatkan dana di Bank Indonesia.
"Istilahnya tidur pun, sudah mendapat untung," kata Akbar.
Maka di Amerika Serikat ada istilah 7 Days Repo Rate, atau The Fed Rate, tingkat suku bunga acuan di Amerika, yaitu berupa tingkat suku bunga bagi utang yang dilakukan oleh perbankan kepada Bank Sentral, yang janji akan dibayar lagi dalam waktu 7 hari.
Sedangkan di Indonesia, tingkat suku bunga acuan BI Rate bernama 7 Days Reverse Repo Rate, di mana yang berutang adalah Bank Sentral kepada perbankan.
Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen kebijakan moneternya, mengeluarkan surat utang, dengan janji bahwa tujuh hari kemudian akan dilunasi dengan bunga tertentu.
"Jadi hubungannya adalah Bank Indonesia yang berutang kepada perbankan. Sebenarnya BI tidak butuh. Itu hanya dilakukan sebagai mekanisme salah satu instrumen kebijakan moneter," kata Akbar.
Konsekuensinya perbankan di Indonesia menjadi punya pilihan mau memberikan pinjaman kepada masyarakat atau ke BI yang sudah pasti mendapatkan bunga tanpa melakukan usaha apapun.
"Jadi pilihan konsumen sempit. Kemampuan nasabah bank-bank di Indonesia untuk mempengaruhi bank menjadi kecil. Sebab bank yang punya banyak pilihan, mau memberi pinjaman ke nasabah atau menabung di bank sentral," kata Akbar.
Sehingga apabila mau melakukan perubahan, apakah bisa. Mungkin secara teknis dan ekonomis bisa. Tetapi secara politis apakah Bank Indonesia mau atau tidak.
"Sebab itu perubahan kebijakan yang lumayan drastis," kata Akbar.
Lebih lanjut dia mengatakan hal tersebut yang menjadi salah satu alasan sektor perbankan di Indonesia tidak benar-benar berperan untuk menggerakkan perekonomian, karena perbankan tidak mendapat paksaan untuk berjuang menyalurkan dana kepada masyarakat.
"Gambaran istilah ekstremnya, bila Anda menjadi bankir, beri macam-macam program berhadiah agar nasabah menabung banyak, lalu tempatkan uang di Bank Indonesia, lalu tidur. Itu sudah akan untung banknya," kata Akbar.
Sehingga beberapa alasan bank yang masih mau menyalurkan pembiayaan. Pertama, mereka masih ingin mengejar untung lebih tinggi dengan risiko tertentu. Kedua, karena kalau tidak giat menyalurkan kredit, akan dimarahi Bank Indonesia.
"Tapi semarah-marahnya itu tidak bisa maksimal juga. Struktur hubungan yang istilahnya tidak sehat, tetapi secara historis sudah terlanjur begitu. Kalau mau diubah, mungkin butuh sebuah keputusan politik yang luar biasa," kata Akbar. (Z-8)
Terkini Lainnya
Dirut BRI Sunarso Ogah Terbuai di Zona Nyaman
Sunarso Jadi The Best CEO, BRI Borong 11 Penghargaan Internasional dari Finance Asia
Pemda Diharapkan Mampu Optimalisasi Belanja
Dana Pemda di Bank Rp192,6 Triliun Dapat Dioptimalkan
Bareskrim Usut Pemalsuan Akta RUPSLB Lewat Dirut Bank Sumsel Babel
OJK Harapkan Ada Penurunan Rasio Kredit Macet Perbankan
BATR Catat Pertumbuhan Laba Bersih 18%
Pertumbuhan Pendapatan Martina Berto Dibidik Naik 25%
Hingga Semester I 2024 Kinerja Pasar Saham masih Lesu
Laba Tumbuh 57%, Semen Baturaja Bagi Dividen Rp24 Miliar
ABMM Gelar RUPS, Simak Kinerjanya Sepanjang Tahun Lalu
SUNI Bukukan Pendapatan Rp162,7 Miliar di Kuartal Pertama 2024
Umur di Tangan Tuhan, Bantuan Hidup Dasar Mesti Dilakukan
Sengkarut-marut Tata Kelola Pertanahan di IKN
Panggung Belakang Kebijakan Tapera
Pancasila, Perempuan, dan Planet
Eskalasi Harga Pangan Tengah Tahun
Iuran Tapera ibarat Masyarakat Berdiri di Air Sebatas Dagu
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Ulang Tahun, D'Cost Donasi ke 17 Panti Asuhan Melalui BenihBaik.com
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap