visitaaponce.com

Potensi Penundaan Penurunan Suku Bunga The Fed, Tingkat BI Rate Diperkirakan Ditahan

Potensi Penundaan Penurunan Suku Bunga The Fed, Tingkat BI Rate Diperkirakan Ditahan
LPEM FEB UI menyatakan kondisi inflasi dan nilai tukar saat ini tidak mengharuskan BI mengubah suku bunga acuan BI Rate.(Antara)

LEMBAGA Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI memandang dari kondisi inflasi dan nilai tukar saat ini membuat tidak ada keperluan mendesak untuk Bank Indonesia (BI) mengubah suku bunga acuan BI Rate.

 

"Kami berpandangan bahwa BI perlu menahan suku bunga acuan di 6,00% pada Rapat Dewan Gubernur Maret ini," kata Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky, Selasa (19/3).

Baca juga : Kenapa BI Memilih Tetapkan Suku Bunga Acuan Stabil? Ternyata Ini Alasannya

Secara keseluruhan, kondisi suku bunga acuan di berbagai negara berkembang cukup tergantung dari pergerakan yang akan diambil oleh Bank Sentral AS The Fed.

Inflasi AS secara tidak terduga meningkat ke 3,2% (yoy) di Februari 2024, menunjukkan tantangan yang semakin sulit dihadapi The Fed dalam usaha untuk menurunkan angka inflasi.

Tingkat pengangguran AS juga meningkat ke 3,9% di Februari 2024 dari 3,7% di bulan sebelumnya. Kenaikan inflasi yang tidak terduga ini mendorong munculnya sentimen  The Fed harus menunda penurunan suku bunga acuan dari titik tertingginya dalam 23 tahun terakhir.

Baca juga : BI Rate Kembali Ditahan di Angka 6%, Untuk Stabilisasi Nilai Tukar Rupiah

Sebelum rilis data inflasi terbaru, berbagai indikasi menunjukkan The Fed akan mulai menurunkan suku bunga acuannya di Juni 2024. Tetapi, naiknya inflasi meningkatkan kemungkinan bahwa pemangkasan suku bunga acuan akan tertunda hingga September 2024.

Perkembangan ini membuat situasi di AS semakin kompleks menyusul pemerintahan Biden yang cenderung ingin menurunkan biaya pinjaman ke level prapandemi secepatnya menjelang periode pemilu di AS.

Bergesernya sentimen ke arah penundaan pemangkasan suku bunga acuan The Fed memicu arus modal keluar dari berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Sejak pertengahan Februari, Indonesia mengalami arus modal keluar dari pasar obligasi yang mencapai US$1,39 miliar.

Baca juga : BI: Instrumen Penguatan Rupiah Terus Dioptimalkan

Tetapi, akibat semakin rendahnya porsi kepemilikan asing, intervensi aktif oleh BI, dan permintaan domestik yang masih solid cenderung membatasi dampak dari arus modal keluar terhadap imbal hasil surat utang Pemerintah.

Saat ini, porsi kepemilikan asing pada surat utang Pemerintah hanya sekitar 14,4%, jauh lebih rendah dari porsi asing di tahun 2019 yang mencapai hampir 40%.

Selama periode minggu kedua Februari hingga minggu kedua Maret 2024, imbal hasil surat utang Pemerintah tenor 10-tahun cenderung stabil di 6,7%, sedangkan imbal hasil tenor 1-tahun bahkan menurun dari 6,21% ke 6,16%.

Baca juga : Kenaikan BI Rate Sebagai Dampak Volatilitas Pasar

Di sisi lain, tercatat adanya arus modal masuk di pasar saham sebesar US$0,5 miliar pada periode yang sama. Seiring dengan terjaganya sentimen positif oleh investor terhadap prospek pertumbuhan Indonesia dan menurunnya ketidakpastian pasca hasil quick-count Pemilu Presiden, arus modal masuk ke pasar saham mampu membatasi keseluruhan nilai arus modal keluar.

Secara kumulatif, Indonesia 'hanya’ mengalami arus modal keluar sebesar US$0,89 miliar selama pertengahan Februari hingga pertengahan Maret 2024.

Untuk menghindari risiko terjadinya arus modal keluar secara masif, bank sentral di negara berkembang kemungkinan tidak akan menurunkan suku bunga acuannya sebelum the Fed mengambil langkah tersebut.

Baca juga : Kenaikan BI Rate Dinilai Belum Perlu

"Indonesia juga tidak terkecuali. Di sisi lain, Rupiah cenderung stabil dalam beberapa minggu terakhir setelah sempat terdepresiasi dan inflasi domestik masih dalam rentang target BI," kata Riefky.

Hingga 17 Maret 2024, Rupiah telah terdepresiasi sebesar 1,6% (ytd), dan cenderung memiliki performa lebih buruk dibandingkan beberapa negara peers seperti Rupee India, Peso Filipina, dan Yuan Tiongkok.

Terlepas dari intervensi aktif oleh BI, tekanan terhadap Rupiah cukup signifikan dalam beberapa minggu terakhir akibat peningkatan ketidakpastian finansial global seiring pemilihan waktu penurunan suku bunga oleh berbagai bank sentral global, terutama the Fed.

Baca juga : Bank Indonesia akan Intervensi Valas, Tangkal Ketidakpastian Ekonomi Global

Namun, tingkat cadangan devisa saat ini relatif cukup tinggi dan memiliki kapasitas untuk menyerap tekanan dari potensi guncangan di pasar modal dan nilai tukar.

Cadangan devisa Indonesia sedikit menurun ke US$144,04 miliar di Februari 2024 dari US$145,05 miliar di bulan sebelumnya. Penurunan cadangan devisa salah satunya dipengaruhi oleh langkah intervensi secara aktif yang dilakukan oleh BI untuk menjaga stabilitas Rupiah dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah Indonesia.

Saat ini, tingkat cadangan devisa Indonesia setara dengan 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. (Z-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat