visitaaponce.com

Kenaikan BI Rate Sebagai Dampak Volatilitas Pasar

Kenaikan BI Rate Sebagai Dampak Volatilitas Pasar
Ilustrasi(Antara)

RAPAT Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia 18-19 Oktober 2023 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI rate) sebesar 25 bps menjadi 6% dalam memitigasi ekonomi global. Ini penjelasan analis.

Keputusan kenaikan suku bunga yang lebih terukur ini merupakan langkah lanjutan untuk secara front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk memastikan terus berlanjutnya penurunan inflasi ke depannya. Hal ini merupakan upaya mitigasi Bank Indonesia terkait meningkatnya ketidakpastian global.

“Semua seperti yang sudah kami sampaikan, bahwa kepercayaan diri saja tidak cukup untuk menghadapi tingkat suku bunga The Fed. Ada risk dan reward yang akan diperhatikan oleh pelaku pasar dan investor apabila Indonesia ingin menjaga daya tarik. Kenaikan BI Rate menjadi sebuah tanda, bahwa kita harus mengakui Indonesia adalah emerging market yang terkena volatilitas pasar,” kata Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus, Kamis (19/10).

Baca juga : Kenaikan BI Rate Menyesuaikan Dinamika Global yang Bergerak Sangat Cepat

Bank Indonesia mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi global, diperkirakan melemah dan disertai divergensi pertumbuhan antarnegara yang semakin melebar. Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi global pada 2023 diperkirakan sebesar 2,9% dan melambat menjadi 2,8% pada 2024.

Di sisi lain, perekonomian Amerika Serikat (AS) pada 2023 masih tumbuh kuat terutama ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan sektor jasa yang berorientasi domestik, sedangkan perekonomian Tiongkok melambat dipengaruhi oleh pelemahan konsumsi dan penurunan kinerja sektor properti.

Baca juga : Kenaikan Suku Bunga BI Lebih Berdampak pada Bunga Deposito

Ketidakstabilan perekonomian global juga dipengaruhi oleh meningkatnya ketegangan geopolitik yang mendorong harga energi dan pangan sehingga mengakibatkan tetap tingginya inflasi global.

Oleh karena itu, untuk mengendalikan inflasi, suku bunga kebijakan moneter di negara maju, termasuk Federal Fund Rate (FFR), diprakirakan akan tetap bertahan tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama (higher for longer).

Kenaikan suku bunga global diperkirakan akan berpengaruh pada kenaikan yield obligasi pemerintah negara maju, khususnya AS (US Treasury), akibat peningkatan kebutuhan pembiayaan utang pemerintah, dan kenaikan premi risiko jangka panjang.

Sehingga langkah BI kemarin akan menjaga inflasi tetap terkendali pada kisaran 2% - 4% di tahun 2023 dan 1,5% - 3,5% di tahun 2024.

Sementara itu, kebijakan makroprudensial longgar diperkuat dengan efektivitas implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dan menurunkan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) untuk mendorong kredit atau pembiayaan bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Kenaikan BI Rate di luar ekspektasi

Ekonom Senior Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rully Arya Wisnubroto mengatakan kenaikan BI rate memang di luar ekspektasi. Hal ini berbeda dengan ekspektasi konsensus yang sebelumnya memprediksi tetap di tahan pada 5,75%.

Keputusan ini diambil karena meningkatnya tekanan terhadap Rupiah, yang kemarin ditutup pada level IDR15,815 terhadap USD, menandai level terlemahnya sejak Agustus 2020.

“Kami menilai langkah yang diambil sangat berbeda dengan sinyal tegas BI pada bulan Januari, yang menyatakan bahwa kenaikan suku bunga sebelumnya sebesar 225 bps dari 3,5% menjadi 5,75% sudah memadai,” kata Rully.

-Dengan berlanjutnya ketidakpastian global, keputusan BI akan bergantung pada perkembangan data, khususnya perkembangan data ekonomi AS. Sentimen "higher-for-longer" yang terjadi di AS, memicu penguatan signifikan USD terhadap mata uang global lainnya dan kenaikan imbal hasil UST 10 tahun, serta memicu ketidakpastian dalam beberapa waktu ke depan.

“Dengan perkembangan tersebut, kami memperkirakan adanya potensi kenaikan lanjutan BI7DRR sebesar 25 bps menjadi 6,25% sebelum akhir tahun ini, dengan asumsi USD tetap mengalami penguatan dalam jangka menengah,” kata Rully.

Terkait Rupiah, Mirae Asset Sekuritas Indonesia merevisi proyeksi nilai tukar Rupiah untuk tahun 2023 menjadi IDR15.525 terhadap USD, dari sebelumnya IDR14.855 terhadap USD.

Sementara rata-rata Rupiah tahunan 2023 akan disesuaikan menjadi IDR15.225 terhadap USD, dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya sebesar IDR15.115 terhadap USD.

“Kami juga melihat ada risiko kenaikan inflasi dalam beberapa waktu ke depan, terutama inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK), yang dipicu oleh harga pangan dan BBM yang tinggi akibat ketidakpastian geopolitik. Mengingat tren tersebut, kami merevisi proyeksi inflasi menjadi 2,85% (yoy) untuk tahun 2023, dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya sebesar 2,55% (yoy),” kara Rully.

IHSG melemah

Analis saham Mirae Asset Sekuritas Indonesia Andreas Kristo Saragih mengatakan pada perdagangan Kamis (19/10), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah -1,18%. Sektor Keuangan dan Material Dasar menjadi pemberat indeks. Investor asing tercatat melakukan penjualan bersih senilai Rp 1,02 triliun dengan porsi net sell terbesar pada saham BCA, BRI, dan Bank Mandiri.

Bank Indonesia secara tak terduga menaikkan suku bunga sebesar 25bps menjadi 6% pada pertemuan Oktober 2023, yang merupakan kenaikan suku bunga pertama sejak Januari, sebagai upaya Bank Indonesia untuk menstabilkan rupiah di tengah meningkatnya ketidakpastian global.

“Selain itu, BI juga meluncurkan instrumen baru bernama Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) guna meningkatkan aliran modal asing dan memperdalam pasar keuangan domestik. Mata uang Rupiah telah mencapai level terendah sejak tahun 2020, tertekan oleh pengetatan moneter AS dan ketegangan di Timur Tengah,” kata Andreas. (Z-4)
 

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat