Tekanan Mereda, BI Disarankan Tahan Suku Bunga Acuan
BANK Indonesia dinilai perlu mempertahankan tingkat bunga acuan (BI Rate) di level 6,25% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Mei 2024. Itu karena tekanan yang datang dari luar mulai mereda dan berbagai intervensi yang dilakukan untuk menjaga stabilitas di dalam negeri dinilai berhasil.
"Setelah BI memutuskan menaikkan suku bunga kebijakan di bulan lalu, tampaknya tidak ada urgensi saat ini untuk mengubah suku bunga kebijakan di Rapat Dewan Gubernur mendatang. Kami berpandangan BI perlu menahan suku bunga acuannya di 6,25% pada Mei 2024," ujar Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidik Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Teuku Riefky, Selasa (21/5).
Keputusan The Federal Reserve (The Fed) menahan suku bunga acuan di kisaran 5,25%-5,75% sesuai dengan yang diperkirakan pasar. Tingkat bunga acuan di level yang tinggi itu sedianya telah disampaikan berulang kali oleh Jerome Powell. Hal tersebut dilakukan hingga tingkat inflasi di Amerika Serikat bisa kembali ke 2% dari posisi saat ini di angka 3,4%.
Baca juga : Manulife: Kenaikan BI Rate Bikin Rupiah dan Inflasi Terjaga
Perkembangan terkini data inflasi dan pengangguran di Negeri Paman Sam mengindikasikan ada momentum meredanya tekanan di perekonomian. Indikasi itu diperkuat dengan data pertumbuhan PDB AS triwulan I 2024 yang turun signifikan ke 1,6% dari 3,4% di triwulan sebelumnya. "Kondisi ini mendorong berlanjutnya prospek untuk The Fed menurunkan suku bunganya di beberapa bulan mendatang," kata Riefky.
Langkah BI menaikkan suku bunga dan intervensi aktif melalui berbagai instrumen, termasuk Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), memberikan daya tarik tambahan terhadap arus modal ke pasar obligasi domestik. Sejak 19 April hingga 17 Mei, arus modal masuk ke pasar obligasi domestik tercatat mencapai US$0,08 miliar.
Arus modal masuk itu juga terefleksikan di pergerakan imbal hasil surat utang pemerintah. Imbal hasil tenor 10 tahun turun dari 6,91% ke 6,89% selama periode tersebut. Di sisi lain, arus modal selama periode 19 April sampai 3 Mei mendorong naik imbal hasil tenor 1 tahun dari 6,24% ke 6,74%. Namun, berkat rilis data ekonomi AS, besarnya transaksi SRBI, dan termaterialisasinya dampak dari penaikan suku bunga kebijakan, imbal hasil 1 tahun turun drastis dari 6,74% ke 6,29% di 19 Mei 2024.
Baca juga : Rupiah Menguat setelah BI Tahan Suku Bunga Acuan
Sejalan dengan itu, arus modal masuk neto dalam beberapa minggu terakhir mendorong penguatan rupiah sebesar 1,4% secara bulanan dan saat ini berada di level 15.950 per dolar AS dari 16.250 per dolar AS di 19 April lalu. Dalam tahun berjalan, rupiah terdepresiasi 3,8%, cukup baik dibandingkan dengan nilai tukar beberapa negara peers.
Dari sisi domestik, stabilitas tetap terjaga ditandai dengan pertumbuhan ekonomi triwulan I 2024 yang tercatat mencapai 5,11% atau naik dari 5,04% di triwulan IV 2023. "Kinerja yang kuat ini didorong oleh peningkatan belanja pemerintah untuk persiapan pemilu dan belanja rumah tangga yang lebih tinggi selama Ramadan yang mengimbangi dampak penurunan harga komoditas global terhadap ekspor," jelas Riefky.
Senada, ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai BI akan mempertahankan BI Rate dalam RDG bulan ini. Itu menurutnya akan dilakukan oleh bank sentral dengan mempertimbangkan risiko fenomena higher for longer dari The Fed. Dia juga menyatakan tekanan eksternal telah mereda dibanding beberapa waktu lalu, sehingga BI tak perlu merespons situasi dengan mengutak-atik BI Rate.
Baca juga : BI Diperkirakan Masih Pertahankan Tingkat Suku Bunga Acuan di Level 6,00%
Hanya, kata Josua, risiko, baik dari eksternal maupun domestic, tetap ada. Secara global, sinyal dari banyak pejabat The Fed masih menunjukkan sinyal bahwa bank sentral AS tidak terburu-buru menurunkan suku bunga meski proses disinflasi berlanjut. "Hal ini dapat membatasi sentimen risk-on yang saat ini sedang meningkat dan dengan demikian membatasi potensi aliran modal masuk," terang Josua.
Dari dalam negeri, penyempitan surplus perdagangan yang berimplikasi pada pelebaran defisit neraca transaksi berjalan di triwulan I 2024 juga perlu menjadi perhatian. Hal ini disebabkan oleh risiko pelebaran defisit yang berlanjut di triwulan II 2024, terutama didorong pola musiman dari puncak pembayaran instrumen keuangan Indonesia kepada nonresiden di setiap kuartal kedua. Karena itu, permintaan domestik terhadap dolar AS tetap tinggi, sehingga menimbulkan risiko terhadap stabilitas nilai tukar rupiah.
Lebih lanjut Josua memperkirakan BI baru akan menurunkan BI Rate setelah The Fed menurunkan suku bunganya. “Kami memperkirakan bahwa pergerakan BI Rate di masa depan akan sangat dipengaruhi oleh perubahan suku bunga kebijakan The Fed. Peluang penurunan BI Rate akan muncul ketika The Fed mulai menurunkan suku bunga acuannya," tutur Josua. (Z-2)
Terkini Lainnya
Apindo Dukung Langkah BI Turunkan Suku Bunga Acuan
BI Turunkan Suku Bunga Acuan, Pengamat: Langkah yang Cukup Berani
IHSG Hari Ini, 16 Januari 2025: Terdampak Penurunan Suku Bunga Acuan BI
Turunnya BI Rate Jadi Sinyal Positif bagi Perbankan
Efek Penurunan BI Rate ke 5,75 Persen, Kredit Meningkat, Properti dan UMKM Diuntungkan
BI Pangkas Suku Bunga Acuan Jadi 5,75 Persen
Turunnya BI Rate Jadi Sinyal Positif bagi Perbankan
Inflasi Terjaga, BI Diperkirakan Tetap Pertahankan Suku Bunga
Transformasi Zakat di Era Digital: Kiprah Baznas Selama Dua Dekade (2001-2024)
Drama Nasib Honorer Pasca-UU ASN
Takdir Mahmoud Abbas Pascaperang Gaza
PLTN di Tengah Dinamika Politik dan Korupsi, Siapkah Indonesia Maju?
Setelah 30 Kali Ditolak MK
Dokter Buruh
1.000 Pelajar Selami Dunia Otomotif di GIIAS 2024
Polresta Malang Kota dan Kick Andy Foundation Serahkan 37 Kaki Palsu
Turnamen Golf Daikin Jadi Ajang Himpun Dukungan Pencegahan Anak Stunting
Kolaborasi RS Siloam, Telkomsel, dan BenihBaik Gelar Medical Check Up Gratis untuk Veteran
Informasi
Rubrikasi
Opini
Ekonomi
Humaniora
Olahraga
Weekend
Video
Sitemap