visitaaponce.com

Dampak Konflik Iran-Israel Pertumbuhan Ekonomi RI Bisa Meleset dari Target

Dampak Konflik Iran-Israel: Pertumbuhan Ekonomi RI Bisa Meleset dari Target
Seorang wanita berjalan melewati spanduk yang menggambarkan peluncuran rudal berlambang Republik Islam Iran di pusat kota Teheran(AFP)

EKONOM sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Bambang Brodjonegoro meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini bisa di bawah target akibat inflasi yang tinggi dari dampak eskalasi konflik Iran-Israel.

Berdasarkan asumsi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2024, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%. Lalu, Dana Moneter Internasional atau IMF memperkirakan perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5% di tahun ini.

Bambang mengatakan sebelum adanya serangan memanas Iran ke Israel, banyak pihak yang optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini mencapai 5%.

Baca juga : Konflik Iran-Israel, Subsidi BBM Bisa Membengkak hingga Rp250 T

"Tapi, kalau eskalasi ini lebih besar dan lebih lama dan membuat gamang banyak pihak, mungkin target 5% akan challenging. Mungkin bisa terdorong ke bawah sekitar 4,6%-4,8% karena gangguan itu," ujarnya dalam webinar 'Ngobrol Seru Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI', Senin (15/4).

Mantan Menteri Keuangan itu menjelaskan ancaman inflasi yang tinggi terjadi akibat harga pangan yang terus bergejolak dan kenaikan harga minyak dunia yang mempengaruhi harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri.

"Dengan adanya kejadian Iran-Israel ini tentu akan sangat bergantung pada seberapa jauh harga minyak akan melonjak," ucapnya.

Baca juga : BI Optimistis Kinerja Ekonomi Terus Membaik

Banbang mengingatkan pada 2022 lalu, saat terjadi konflik Rusia-Ukraina, harga minyak mentah sempat terbang di atas US$100 per barel. Presiden Joko Widodo memutuskan menaikkan harga BBM pertalite dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter pada September 2022. Langkah tersebut diambil karena anggaran subsidi dan kompensasi BBM semakin membengkak.

"Di 2022 kita pernah alami inflasi di atas 5% karena pada waktu itu perang Rusia-Ukraina membuat harga minyak di atas US$100 per barel. Saat itu pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM karena subsidinya sudah terlalu banyak sekitar Rp500 triliun," imbuhnya.

Mantan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu menuturkan dampak dari eskalasi konflik Iran-Israel ialah melemahnya nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS yang mengundang kekhawatiran pasar terhadap laju perekonomian dalam negeri.

Baca juga : Bank Indonesia Perkirakan Ekonomi Nasional pada 2024 Tumbuh 5,5%

"Secara eksternal memang kita akan menghadapi tantangan yang serius dan ini yang bisa membuat rupiah menjadi tertekan," ucapnya.

Menurutnya, yang bisa dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) adalah menahan agar fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bisa lebih stabil dengan langkah intervensi yang cermat. BI, sebutnya tidak bisa menggunakan cadangan devisanya begitu saja untuk melakukan intervensi.

"Karena akibatnya akan fatal. Bahkan, kalaupun BI menaikkan suku bunga, barangkali efeknya tidak akan terlalu kuat karena memang dolar AS menguat terhadap semua mata uang sebagai akibat tingkat bunga yang tinggi," pungkasnya. (Ins/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat