visitaaponce.com

Pesawat Amfibi Seaplane Jadi Solusi Transportasi Daerah Terpencil

Pesawat Amfibi Seaplane Jadi Solusi Transportasi Daerah Terpencil
Ilustrasi pesawat seaplane(AFP)

PENGAMAT maritim dari IKAL Strategic Center  Marcellus Hakeng Jayawibawa menegaskan bahwa pengoperasian seaplane di pelabuhan yang kedepannya berada dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (DJPL) membuka peluang baru dalam bidang transportasi dan pariwisata di Indonesia. 

“Seaplane, pesawat amfibi yang mampu lepas landas dan mendarat di permukaan air, menawarkan solusi transportasi yang unik dan efisien, terutama untuk daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau melalui jalur darat atau laut,” jelas Hakeng, di Jakarta, (21/6). 

Kendati begitu, Hakeng juga menyoroti bahwa pengimplentasian layanan seaplane memerlukan antisipasi yang matang untuk menghindari konflik kewenangan dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (DJPU). 

Baca juga : Mahfud MD Minta Pengembangan Jaringan Komunikasi di PPKT Dilanjutkan

“Dari itu dibutuhkan kolaborasi yang erat antara DJPL dan DJPU. Harus ada kerangka regulasi yang jelas serta pelatihan dan persiapan infrastruktur yang memadai, dimana hal tersebut akan menjadi kunci untuk memastikan operasional yang aman dan efisien,” tuturnya. 

Perbedaan tanggung jawab antara DJPL dan DJPU, menurut Hakeng, berpotensi menimbulkan konflik kewenangan. DJPL bertanggung jawab atas pengelolaan pelabuhan dan kegiatan maritim, sementara DJPU mengatur penerbangan sipil dan operasional bandara

“Jadi ketika seaplane mulai beroperasi di pelabuhan yang dikelola oleh DJPL, DJPU mungkin menganggap ini sebagai bagian dari regulasi penerbangan,” jelas Hakeng.

Baca juga : Kok Bisa Warga Terpencil Di ujung Negeri Terproteksi JKN, Ini Mulanya

Oleh karena itu, tambah Hakeng, penting untuk memiliki kerangka regulasi yang jelas yang menetapkan batasan kewenangan masing-masing direktorat dalam mengelola operasional seaplane. Regulasi ini harus mencakup aspek keselamatan, prosedur operasional, dan tanggung jawab pengawasan. 

“Kolaborasi antara DJPL dan DJPU sangat penting untuk mengatasi potensi konflik kewenangan. Kedua direktorat harus bekerja sama dalam merencanakan dan mengimplementasikan layanan seaplane,” tegas Hakeng.

Ketua Bidang Penataan Jaringan dan Distribusi Kader Pengurus Pusat Pemuda Katolik ini juga mengingatkan bahwa dengan langkah-langkah strategis tersebut, potensi tumpang tindih kewenangan antara DJPL dan DJPU dapat diminimalisir. 

Baca juga : Antrean Panjang Terjadi di Layanan Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta akibat Gangguan Pusat Data Nasional

Kolaborasi yang erat, kerangka regulasi yang jelas, serta pelatihan dan persiapan infrastruktur yang memadai akan memastikan bahwa manfaat ekonomi dan sosial dari layanan seaplane dapat dimaksimalkan tanpa mengorbankan keselamatan dan efisiensi operasional. 

“Layanan seaplane yang sukses tidak hanya akan meningkatkan konektivitas dan aksesibilitas daerah terpencil, tetapi juga akan memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan pariwisata dan ekonomi di Indonesia,” jelanya. 

Menurut pengamat maritim yang dikenal kritis ini, bandar udara darat dan perairan memiliki karakteristik yang sangat berbeda dalam hal struktur dan fasilitas penunjang. 

Baca juga : Promosikan Produk UMKM, Kemenkop UKM Buka Ruang Pamer di Bandara Soetta

“Landasan pacu di bandar udara darat dibangun dari material keras seperti aspal atau beton, dirancang untuk menahan beban berat pesawat dan memberikan permukaan yang stabil dan rata,” ujar Hakeng. 

Sebaliknya, bandar udara perairan menggunakan air sebagai permukaan operasinya, yang memiliki sifat fisik yang berbeda, termasuk dinamika gelombang, pasang surut, dan variasi ketinggian air. 

“Hal ini menuntut desain pelampung atau hull pesawat yang berbeda agar dapat beroperasi dengan aman di permukaan air,” jelasnya.

Selain perbedaan dalam struktur landasan, fasilitas penunjang juga sangat berbeda antara bandar udara darat dan perairan. Bandar udara darat biasanya dilengkapi dengan taxiways, aprons, hangar, dan terminal penumpang, sementara bandar udara perairan lebih memerlukan pelabuhan atau dermaga, fasilitas tambatan, serta penanganan khusus untuk operasi perawatan pesawat di atas air. 

“Perbedaan ini menunjukkan bahwa standar desain dan konstruksi yang digunakan untuk bandar udara darat tidak dapat diterapkan secara langsung pada bandar udara perairan tanpa modifikasi yang sesuai,” tegas Hakeng.

Meskipun terdapat perbedaan signifikan dalam desain dan operasional, imbuh (Hakeng), salah satu kriteria sertifikasi mendasar adalah bahwa semua bandar udara, baik darat maupun air, harus memiliki Sistem Manajemen Keselamatan (SMS) yang sesuai. 

“SMS mencakup kebijakan keselamatan, pengelolaan risiko dan jaminan keselamatan,” tuturnya. (Z-8)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putra Ananda

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat