visitaaponce.com

Lola Amaria Jawab Keresahan Sejarah Melalui Film Dokumenter Eksil

Lola Amaria Jawab Keresahan Sejarah Melalui Film Dokumenter Eksil
Sineas Lola Amaria.(Dok. MI)

SETELAH 17 tahun berkarya di belakang layar perfilman Indonesia, Lola Amaria semakin menunjukkan kemampuannya dalam melahirkan berbagai film yang mengangkat isu kemanusiaan, kesetaraan gender, isu perempuan, toleransi, hingga isu sosial, politik, dan budaya. Salah satu karyanya yang teranyar adalah Eksil (2022).

Lola mengatakan ide pembuatan film tersebut dimulai dari rasa penasarannya sejak remaja terhadap rangkaian sejarah kontroversial tahun 1965. Hal itu memantiknya untuk mencari tahu lebih dalam lewat berbagai buku, diskusi, hingga pertemuannya dengan para eksil di berbagai belahan dunia.

“Saya tumbuh dan besar di era Orde Baru, selama 12 tahun saya harus selalu nonton film G30S. Saya tidak pernah paham konteks tapi rasa trauma dan ketakutan terhadap satu kelompok itu membekas. generasi X hingga milenial tahu sejarah hanya dari apa yang diajarkan di sekolah. Saat SMA saya mulai mempertanyakan seperti apa sisi dari korban?” jelasnya di Jakarta pada Sabtu (3/2).

Baca juga : Ini Alasan Dandhy Dwi Laksono Garap Dokumenter Dirty Votes yang kini Viral

Menurut Lola, selama beranjak dewasa hingga masa kuliah, tak pernah ada ruang untuk berpikir sedikit lebih kritis, lebih-lebih jika mau tahu soal sejarah dari perspektif lain, seperti sejarah peristiwa 1965. Lola menelan penasaran selama bertahun-tahun. Saat kuliah hubungan masyarakat di Interstudi pada tahun 1990-an, barulah rasa penasarannya terjawab satu per satu.

“Saat kuliah saya berteman dengan berbagai macam orang mulai dari kalangan yang gaul, kutu buku yang sering ke perpustakaan, dan para aktivitas yang turun ke jalan. Saat saya tertarik pada sebuah buku dan ingin membaca tentang peristiwa 65 dari sisi korban, pasti ada aja teman yang berkata ‘lu yakin mau baca ini, hati-hati ya’ pasti selalu diperingatkan begitu,” ungkapnya.

Mulai dari sana, ia kemudian mulai mengetahui berbagai potongan puzzle sejarah 65 yang dihilangkan dari buku pelajaran. Ia pun berterima kasih kepada temannya yang meminjamkan “buku-buku langka” yang mesti dibaca dengan hati-hati. Berbagai lingkaran pertemanannya pun membawa Lola berkenalan dengan para eksil di Benua Eropa.

Baca juga : 15 Film Terbaru di Netflix, Penuh Kisah Epik, Romantis, dan Dokumenter yang Memikat

“Pada tahun 2010 sampai 2012 saya sering diundang ke Eropa dalam rangka screening film, saya diajak teman teman yang kuliah di sana untuk bertemu salah satu orang Indonesia yang sudah menjadi warga negara Jerman. Saya pun penasaran gimana bisa seorang WNI menjadi warga negara Jerman, akhirnya saya tahu bahwa dia adalah eksil, semua cerita itu berkaitan dengan sejarah 65 dalam perspektif korban,” tuturnya.

Tak hanya seorang, Lola menjelaskan bahwa ada ratusan eksil yang ‘terbuang’ di Eropa. Mereka dulunya adalah mahasiswa Indonesia yang dikirim untuk kuliah ke luar negeri di era Presiden Soekarno. Politik negeri lalu bergejolak di tahun 1965. Mereka yang hanya tahu belajar buat membangun negeri ikut terseret dan menjadi eksil, orang buangan rezim.

“Mereka adalah mahasiswa yang mengambil jurusan perencana keuangan, ahli IT, teknik, dan ahli-ahli lain yang akhirnya paspor mereka dinonaktifkan, kehilangan warga negara dan identitas lalu hidupnya terbuang. Ada sekitar 200-an orang yang tersebar di seluruh Eropa, lalu di situ saya minta kontak para eksil di berbagai negara. Barangkali ketika saya nanti mengunjungi Jerman atau mengunjungi Belanda dan negara lainnya, saya bisa menemui para eksil tersebut,” imbuh perempuan yang pernah menjadi model Majalah Femina tahun 1997 itu.

Baca juga : Film Dokumenter Dirty Vote Bentuk Pendidikan Politik

Riset dan Proses Panjang Film Eksil

Hingga akhirnya pada 2013-2015 Lola mendatangi para eksil dan melakukan banyak diskusi santai untuk sekedar mencari informasi dan mengungkap kebenaran sejarah dari sisi yang lain. Dia melakukan aktivitas tersebut selama dua tahun secara pribadi dengan proses yang cukup panjang, pulang pergi dari Eropa-Indonesia beberapa kali.

“Tahun 2013 itu belum tercetus ingin buat film, baru pada 2015 memutuskan akan bikin film. Baru saya dapat banyak materi dan akan membuatnya dengan format dokumenter, saya pikir menarik karena tokohnya langsung yang memerankan dan bicara. Saya pulang balik dari Jakarta ke berbagai negara, tapi proses awal pertemuan itu belum membawa kamera dan masih diskusi mengobrol secara informal dengan para eksil eksil tersebut,” jelasnya.

Sebelumnya, perempuan 46 tahun itu butuh waktu hingga setahun untuk mendekati para eksil, mereka yang mulanya ramah berubah menjadi orang yang ‘galak’ dan merasa waspada saat tahu Lola ingin memfilmkan kisah para eksil, pada saat itu Lola dituduh sebagai intel.

Baca juga : Film Dirty Vote Viral, Gibran Rakabuming: Belum Nonton

“Mereka marah karena kaget kenapa saya bawa kamera, mereka berpikir saya adalah Intel, saya ditanya ‘kamu mau ngapain, kamu dari partai apa, dan siapa yang mendanai kamu’ mereka curiga,” ungkapnya.

Pada akhirnya, seorang teman Lola di luar negeri bersedia membantu melobi para eksil. Lola pun tak bosan mengirim berbagai karya filmnya untuk meyakinkan mereka. Satu per satu eksil akhirnya membuka diri, bahkan Asahan Aidit yang semula menolak mentah-mentah diwawancara pada akhirnya berkenan.

“Akhirnya tidak jadi ngerekam dan selama berbulan-bulan saya berusaha meyakinkan para eksil itu lewat rekan di Belanda yang membantu negosiasi secara personal, bahwa saya akan membuat film Indonesia berkaitan dengan isu sosial. Saya bukan Intel, saya seorang independen tidak berafiliasi dengan partai apapun organisasi,” jelasnya.

Baca juga : Anies Baswedan: FIlm Dirty Vote Gambarkan Tanda Kecurangan di Pemilu 2024

“Saya mengerti kenapa seperti itu karena mereka punya trauma tersendiri, hidup mereka selama puluhan tahun dipantau dan dicurigai. Jadi setiap orang baru yang bertemu dengan mereka, pasti akan dicurigai bahwa dia adalah Intel mata-mata,” lanjut Lola.

Proses pembuatan film Eksil memang tak mudah, Lola mengatakan dibutuhkan waktu hampir 10 tahun untuk menggarapnya sejak sejak 2013 hingga 2023 hingga selesai. Ada saja tantangan untuk menyelesaikannya, mulai dari dana, narasumber hingga sulitnya mencari footage sejarah yang cukup mahal. Selain itu, pandemi Covid-19 juga membuat Lola harus menghentikan sebentar proses pembuatan film.

“Saya mewawancarai 30 eksil, ada perempuan juga tapi hanya 10 orang yang memberi izin untuk ditayangkan dalam film. Ini bukan tandingan tapi akan ada sisi perspektif lain yang nantinya kita serahkan kepada penonton ingin membuat kesimpulan seperti apa mengenai sejarah kita, karena eksil ini bukan hanya soal politik tapi juga bicara mengenai isu kemanusiaan,” tuturnya.

Selain Eksil, Lola pernah memproduksi beberapa film antara lain film Negeri Tanpa Telinga (2014) yang bicara soal politik. Ada lagi Minggu Pagi di Victoria Park (2009) tentang pekerja migran perempuan di Hong Kong, dan Kisah Tiga Titik (2013) tentang masalah ketenagakerjaan dari kacamata buruh perempuan.

(Z-9)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat