visitaaponce.com

Menteri Siti Optimistis Capai Target Penurunan Emisi GRK 26

Menteri Siti Optimistis Capai Target Penurunan Emisi GRK 26%
Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar memberikan keterangan seusai mengikuti Rapat Koordinasi Khusus Tingkat Menteri di Jakarta, Kamis (2/7).(ANTARA/Aprillio Akbar)

Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar mengatakan optimistis dengan kerja keras target GRK sebesar 26% tercapai tahun ini. Menteri Siti menyatakan hal tersebut menanggapi perintah Presiden Jokowi yang meminta seluruh tahapan proses penurun emisi gas rumah kaca (GRK) segera diselesaikan guna memenuhi perjanjian kerja sama Indonesia-Nowergia dan kebijakan instrumen nikai ekonomi karbon (carbon pricing).

"Di 2015, saya kira kalau lihat seperti ini datanya di 2017 capai 24,7% dan di 2018 bisa lebih baik lagi maka 2019 kita kemarin ada trouble sedikit, soal karhutla tetapi di 2020 kita kerja keras untuk memperbaiki itu. Kalau saya sih, pada 2020 target 26% cukup optimis," kata Menteri Siti di Jakarta, Senin (6/7).

Dia menjelaskan ini penurunan emisi dari kegiatan yang ada di masyarakat, swasta dan pemerintah, tetapi nilai ini dinamis dari tahun ke tahun, misalnya jika terjadi karhutla maka angkanya susah diturunkan.

Baca juga: Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca, Indonesia Terima Insentif Rp800 M

"Contohnya apa dari kebakaran hutan dan lahan jadi kalau kebakaran hutan banyak agak berat nuruninnya. Kita selama periode ini, kita harus konsisten. Ini memang tidak gampang tetapi dengan dukungan kawan-kawan termasuk informasi kepada publik oleh media itu bisa konsisten," sebutnya.

Indonesia dan Norwegia menandatangani perjanjian bilateral REDD+ (LoI) pada tahun 2010. Berdasarkan LoI tersebut, kata Menteri Siti, Indonesia berjanji untuk mengurangi emisi karbon melalui penciptaan lembaga pemantauan dan pembatasan penggunaan lahan baru, serta penegakan ketat dari UU tentang Kehutanan.

Atas dasar itu, pemerintah Norwegia akan membayar pemerintah Indonesia hingga 1 miliar dolar AS, tergantung pada seberapa jauh target pengurangan emisi bertemu.

Menurutnya, tujuan REDD+ adalah menghitung nilai dari karbon yang tersimpan di hutan, serta menawarkan insentif bagi negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi dari lahan hutan dan tertarik untuk berinvestasi di jalur rendah karbon dalam rangka pembangunan berkelanjutan.

"Memang ada hal-hal yang perlu disesuaikan, dalam LoI 2010 itu komitmen Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) 26 % pada 2020 dan di UU No 16 tahun 2016 tentang Ratifikasi Perubahan Iklim sudah disesuaikan jadi 29% penurunan emisi GRK pada 2030 atau 41% penurunan emisi GRK pada 2030 dengan dukungan kerja sama teknik luar negeri," terangnya.

Menteri Siti menambahkan, selama pemerintahan Presiden Jokowi sejak 2014, sudah dilakukan sejumlah kebijakan untuk mengurangi emisi GRK. Seperti penanganan gambut, inpres moratorium area gambut dan hutan alam yang pertama dikeluarkan tahun 2011 diperpanjang setiap 2 tahun, yaitu 2013, 2015, 2017 dan 2019.

"Presiden setuju ini dipermanenkan, artinya sejak 2019 tidak boleh ada izin baru di hutan primer dan di lahan gambut," lanjutnya.

Pemerintah juga menangani kebakaran hutan dan lahan, penurunan deforestasi serta penegakan hukum. Lanjut Menteri Siti, penegakan hukum juga terus dilakukan dan periode 2016 hingga sekarang lebih kencang dari sebelumnya.

"Ada juga energi angin di Sulawesi, electro mobility kita sudah mulai, pengembangan biofuel b-20, akan b-30, bahkan Presiden sudah mengarahkan ke b-80 dan kalau mungkin b-100," paparnya.

Selanjutnya prestasi lain yang telah dilakukan pemerintah, membangun sistem untuk mengontrol emisi GRK. Atas prestasi itu, pada 2 Juli 2020 sudah ada joint consultation group antara Indonesia dan Norwegia dan disepakati Indonesia berhasil mengurangi emisi GRK 11 juta ton atau senilai dana 56 juta dolar AS.

"Artinya, Indonesia terus konsisten terhadap komitmennya, ini perlu digarisbawahi, kenapa konsisten? Selain untuk kontribusi penurunan GRK dunia, tetapi kita punya pasal 28  UUD 1945 yang menegaskan warga negara punya hak untuk memperoleh lingkungan yang baik, kita harus terus bekerja," tegasnya.

Diketahui Pemerintah Norwegia akan membayarkan 56 juta dolar AS kepada Indonesia karena hasil verifikasi pihak ketiga menunjukkan Indonesia berhasil menurunkan emisi sebesar 11,2 juta ton Ekuivalen Karbon Dioksida (CO2eq) selama 2016-2017. Saat ini, harga pasar karbon dunia sebesar Rp72.000 per ton.

Angka 11,2 juta ton CO2eq diperoleh setelah verifikator mengurangi 35% dari keseluruhan emisi yang berhasil dikurangi Indonesia, yaitu 17 juta ton CO2. Pengurangan itu dilakukan sebagai kompensasi terhadap beberapa risiko dan ketidakpastian situasi iklim saat penghitungan.

Berdasarkan penyataan pemerintah Norwegia, lewat laman resminya, 17 juta ton emisi karbon yang berhasil dikurangi Indonesia selama 2016-2017 setara dengan sepertiga dari gas buang karbon yang dihasilkan Norwegia selama satu tahun.

Dana 56 juta dolar AS atau setara Rp812,86 miliar yang akan diterima Pemerintah Indonesia akan disalurkan ke Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), lembaga yang dibentuk pada 2019 dan efektif beroperasi pada Januari 2020. Kebijakan itu berdasarkan PP 46 Tahun 2017 tentang instrumen ekonomi Lingkungan Hidup dan Perpres Nomor 77 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup. (H-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : HUMANIORA

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat