visitaaponce.com

Cegah Perselisihan, RS dan Pasien Perlu Pahami Hak dan Kewajiban

Cegah Perselisihan, RS dan Pasien Perlu Pahami Hak dan Kewajiban
Webinar “Perlindungan Hukum bagi Rumah Sakit dan Tenaga Kesehatan di Masa Pandemi”, yang digelar RS Premier Bintaro.(Ist)

PERSELISIHAN antara pasien dengan rumah sakit (RS) maupun tenaga kesehatan yang melakukan tindakan pelayanan kadang tidak bisa dihindari.

Untuk mencegahnya, semua pihak hars memahami kewajiban dan hak masing-masing, serta menjalankannya. Komunikasi yang baik juga penting untuk menyelesaikan permasalahan yang mungkin dipicu oleh kesalahpahaman.

Kepala Biro Hukum dan Organisasi Sekjen Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, Sundoyo, mengungkapkan, dalam UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan setidaknya ada 20 kewajiban yang harus dilakukan pihak rumah sakit dan tenaga kesehatan.

 UU itu juga mengatur memberikan informasi yang benar tentang pelayanan rumah sakit; memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif; memberikan pelayanan gawat darurat; melaksanakan dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan.

Selain itu, UU No 36 Tahun 2009 menyelenggarakan rekam medis dan melaksanakan sistem rujukan; serta menghormati dan melindungi hak pasien, melaksanakan etika rumah sakit, dan menyusun serta melaksanakan peraturan internal rumah sakit.

“RS dan tenaga kesehatan wajib melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut,” kata Sundoyo pada webinar “Perlindungan Hukum bagi Rumah Sakit dan Tenaga Kesehatan di Masa Pandemi”, yang digelar RS Premier Bintaro, Sabtu (18/9).

“ RS dan tenaga kesehatan yang tidak menjalankan kewajiban dan pelanggaran akan dikenai sanksi, mulai dari sanksi administratif berupa teguran, denda, pencabutan izin usaha, hingga sanksi pidana,” jelas Sundoyo.

Sesuai UU Kesehatan tersebut, lanjut Sundoyo, setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seorang tenaga kesehatan dan atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

“Tapi RS dan tenaga kesehatan boleh menolak keinginan pasien jika itu bertentangan dengan standar profesi dan etika, serta perundang-undangan.”

Sejatinya, banyaknya peraturan yang mengikat RS dan tenaga kesehatan ditujukan untuk mendorong penerapan langkah dan tindakan medis yang sesuai prosedur. Namun demikian, potensi perselisihan tetap ada.

“Terlebih di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, terdapat gap yang lebar antara tindakan yang harus dilaksanakan tenaga kesehatan sesuai prosedur dengan pemahaman masyarakat akan prosedur tersebut,” kata Prof Budi Sampurna, anggota Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, yang juga menjadi pemateri dalam webinar itu.

Untuk mencegah perselisihan dengan masyarakat, RS dan tenaga kesehatan harus memiliki kemampuan public speaking yang baik, jelaskan bahwa tindakan yang dilakukan merupakan prosedur yang diatur dalam undang-undang.

“Tenaga kesehatan juga memiliki hak akan perlindungan hukum,” imbuh Budi.

 Senada, pembicara webinar lainnya, Ketua Ikatan Alumni Kajian Administrasi Rumah Sakit (IKAMARS) UI dr Hariyadi Wibowo juga menyatakan bahwa komunikasi yang baik merupakan kunci dari penyelesaian perselisihan.

“Beri penjelasan sedetail mungkin dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat untuk menekan potensi sengketa. Jangan sampai keluhan akibat ketidaktahuan masyarakat ditumpahkan ke media sosial yang justru memperburuk situasi,” kata Hariyadi.

Sebelumnya, saat membuka diskusi webinar ini, CEO RS Premier Bintaro dr. Martha M.L. Siahaan MARS, M.H. Kes mewakili penyelenggara menyampaikan, RS dan tenaga kesehatan memiliki peran besar dalam penanganan Covid-19.

“Tentunya perlindungan hukum bagi RS dan tenaga kesehata n merupakan hal esensial yang harus didapat agar RS dan para tenaga kesehatan bisa menjalankan tugas dengan baik,” kata dr. Martha pada webinar yang diikuti lebih dari 600 peserta itu. (Nik/OL-09)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat