visitaaponce.com

Potensi Seni Lukis Kulit Kayu dari Sentani

Potensi Seni Lukis Kulit Kayu dari Sentani
Pemilik Reymay Art Serra Esterlin Ohee.(Dok. REYMAY ART)

SEMASA kecil, Serra Esterlin Ohee kerap melihat orangtuanya melukis di atas kulit kayu kombouw (kombou). Kulit kayu biasanya direndam terlebih dahulu lalu dikeringkan sebelum bisa dijadikan media lukis. Di tempat tinggal Serra di Sentani, khususnya di Pulau Asei, memang ada tradisi ukir dan melukis di atas kulit kayu.

Kini, di saat sudah dewasa, Serra meneruskan yang sudah menjadi tradisi di keluarganya. Ia menekuni bisnis suvenir yang mengandalkan seni lukis di atas kulit kayu. Bedanya, dulu orangtuanya hanya mengandalkan seni lukis dengan kanvas kulit kayu, kini Serra mengaplikasikannya ke berbagai produk siap pakai seperti tas, pouch, dan topi.

Selepas menyelesaikan kuliah akuntansi di Malang, Jawa Timur, pada 2019, ia kembali ke Kampung Harapan, Distrik Sentani Timur. Saat itulah ia mulai mencoba nyemplung ke bisnis suvenir mengandalkan tradisi lukis di atas kulit kayu dari keluarganya.

Titik keberangkatan bisnisnya juga bukan sekadar keputusan impulsif. Ide itu sudah ia simpan sejak 2016. Ketika kuliah di Malang, banyak teman yang bertanya tentang tas yang dipakainya. Tas itu dibuat dari kulit kayu kombou bikinan keluarganya. Banyak yang menanggapi keunikan tas yang terbuat dari kulit kayu dan memiliki lukisan motif suku di Sentani.

Sejak itu, Serra pun melihat ada peluang yang bisa diambilnya. Memang, ketika itu tidak ada temannya yang memesan ke Serra karena masih berpikir dua kali tentang ongkos kirim yang mahal. Ditambah, Serra ketika itu cuma mau fokus dengan kuliahnya.

Setelah kepulangannya ke kampung halaman, Serra pun kemudian mewujudkan ide yang sudah lama disimpannya. Ia ingin mengenalkan tradisi seni lukis di atas kulit kayu lewat produk-produk yang lebih massal diterima publik. Jika semasa orangtuanya hanya menjual lukisan di atas kulit kayu ke turis, kini Serra membawa seni lukis itu ke berbagai produk fesyen.

“Saat awal, saya mulai cari-cari model tas yang dibuat dari kulit kayu. Lalu bertemulah dengan supplier tas dari Yogyakarta. Saya dapat kontak dari tante. Dari situ saya pesan tas yang sudah dijahit, tapi masih polos. Jadi pas sampai ke sini, saya dan keluarga yang lukis,” kata Serra saat dihubungi Media Indonesia melalui sambungan telepon, Selasa (2/8).

Awalnya Serra memesan masing-masing sebanyak 20 untuk tiap jenis, mulai dari tas, topi, dan pouch. Jika dihitung termasuk biaya logistik, ketika itu Serra habis sampai Rp50 jutaan. Adapun modal awal bisnisnya antara lain bantuan dari Disperindagkop setempat. Ketika itu, ada program bantuan pendanaan untuk beberapa UMKM. Reymay Art milik Serra mendapat jatah Rp200 juta ketika itu.

Hingga saat ini, Reymay Art masih memasok material produknya dari Yogyakarta. Hanya produk lukisan dinding yang semuanya berasal dari kampungnya dengan menggunakan kulit kayu kombou. Biaya logistik, kata Serra, masih jadi salah satu tantangan karena baginya masih sangat tinggi. Terlebih jika menggunakan pesawat. Sebab itu, Serra memilih menggunakan kapal laut.

Mulai pekan kedua Agustus tahun ini, kata Serra, ia tengah menyusun proyeksi peningkatan keahlian bagi para pekerjanya, yang kini berjumlah delapan orang di bagian produksi. Ke depan, diharapkan semua bisa diproduksi sendiri tanpa harus menyuplai dari wilayah luar.

 

Instagram dan Whatsapp

Sejak awal, Serra mengandalkan Instagram sebagai etalase pemasaran produknya. Ia juga beberapa kali memanfaatkan iklan media sosial untuk meningkatkan performa digital produknya. Di Whatsapp, Reymay Art juga memajang katalog produk-produknya.

“Pemasaran jadi lebih luas tentunya. Interaksi dengan customer maupun supplier juga jadi lebih cepat. Ke depan memang kami sedang berencana untuk masuk ke e-commerce juga. Saat ini penjualan terbanyak memang masih dari Whatsapp karena pembeli yang bertanya di Instagram kami arahkan ke Whatsapp. Website juga tengah dikuatkan lagi sekarang,” sambung Serra.

Dengan mengiklankan produk di media sosial, beberapa impak konkretnya ada yang memang langsung membeli produknya. Pengikut media sosial Reymay Art pun kut bertambah.

Pembeli Reymay Art kini juga berasal dari luar Papua, seperti Jakarta. Saat ini, dalam sebulan rerata skala produksi Reymay Art mencapai 50 item. Dengan harga produk dari Rp150 ribuan hingga Rp1 juta, dalam sebulan Reymay Art mampu membukukan omzet Rp10 juta-Rp20 juta.

Karena biaya logistik masih jadi salah satu tantangan utama bagi pasar Reymay Art di luar Papua, ke depan Serra sedang menjajaki sistem re-seller. Salah satunya di Jakarta.

Di luar logistik, Serra juga mengatakan beberapa kendala lain terkait infrastruktur. Meski menurutnya jaringan sinyal sudah cukup baik di Jayapura, beberapa kali kendala juga cukup menyulitkan bisnisnya. “Misalnya waktu itu ada kabel putus. Ada juga kan pernah sinyal hilang selama beberapa bulan, pernah juga,” sebut Serra.

 

Motif suku

Salah satu nilai yang coba dikenalkan dari produk Reymay Art sebenarnya ialah lukisan motif-motif yang diangkat dari tradisi dan cerita suku-suku yang ada di Sentani. Serra bercerita, setiap motif memiliki latar belakang dan cerita sendiri. Ia pun menelusuri makna dan filosofi motif-motif yang terlukis di atas produknya kepada keluarga yang lebih memahami.

“Salah satu yang sering kami pakai ialah motif Yonikhi. Yonikhi memiliki filosofi tentang kekuatan. Biasanya motif ini dipakai oleh kepala suku dan keturunannya. Tapi, seiring berjalannya waktu, motif ini bisa dipakai siapa saja. Kalau sudah ada izin boleh. Apalagi untuk lukisan tradisional, itu dibolehkan. Yang penting dari motif itu, si penceritanya tahu betul cerita di baliknya. Tidak dibuat-buat,” ujar Serra.(M-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat