visitaaponce.com

Pakar Undang-Undang Sebut RUU Kesehatan Jangan Keluar dari Pakemnya

Pakar Undang-Undang Sebut RUU Kesehatan Jangan Keluar dari Pakemnya
Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Jember (FH UNEJ), Prof. Dr. Bayu Dwi Anggono.(Dok.UNEJ)

GURU Besar Ilmu Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Jember (FH UNEJ), Prof. Dr. Bayu Dwi Anggono menyebut jika RUU Kesehatan harus mengatur isu kesehatan saja, tidak keluar pada isu lainnya, apalagi masuk pada kelembagaan BPJS Ketenagakerjaan.

“Pembentuk UU dalam menggunakan metode omnibus seharusnya mengubah atau mengevaluasi undang-undang dengan tema dan latar belakang yang sama,” tuturnya.

Menurut Bayu, politik hukum RUU Kesehatan menekankan pada pembangunan kesehatan masyarakat serta melakukan transformasi sektor kesehatan dan layanan kesehatan dari hulu ke hilir bagi tercapainya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. 

Baca juga: Pakar Hukum: Pengaturan BPJS dalam RUU Kesehatan Harus Dibahas Mendalam

“Karena itu, perubahan pengaturan kelembagaan BPJS Ketenagakerjaan pada RUU Kesehatan, tidak memiliki justifikasi filosofis, sosiologis dan yuridis,” lanjut Bayu.

“RUU Kesehatan memang dimaksudkan untuk memperbaharui kebijakan pada sektor kesehatan,” jelasnya. 

Sembilan UU Terkait Kesehatan Jadi Omnibus

Dia merinci bahwa ada sembilan undang-undang yang berkaitan dengan kesehatan yang akan diubah menggunakan metode omnibus, seperti UU 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular: UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran; UU 36/2009 tentang Kesehatan; UU 44/2009 tentang Rumah Sakit; UU 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa; UU 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan; UU 38/2014 tentang Keperawatan; UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan; dan UU 4/2019 tentang Kebidanan.

Baca juga: IDI: Belum Ada Urgensi Susun RUU Omnibus Law Kesehatan

Guru Besar yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember ini menuturkan bahwa desain kelembagaan BPJS Ketenagakerjaan yang disepakati oleh pembentuk UU bersama serikat pekerja pada waktu pembahasan UU SJSN maupun UU BPJS  waktu itu adalah sebagai institusi mandiri, nirlaba dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Esensi dari bertanggung jawab langsung kepada Presiden, menurut Bayu adalah bentuk dari kelembagaan yang mandiri agar dapat selalu mengutamakan perlindungan dan kepentingan pekerja.

“Untuk itu seyogyanya konsensus pembentuk UU bersama serikat pekerja tersebut dijaga dan dihormati,” terang Bayu.

BPJS Ketenagakerjaan Tak Lepas dari Pasal 28 UUD 1945

BPJS Ketenagakerjaan merupakan institusi negara yang keberadaannya tidak lepas dari landasan konstitusional di Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan ‘Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat’.

Baca juga: BPJS Watch: Pernyataan Juru Bicara Kemenkes Soal Pasal RUU Kemenkes Tak Tepat

“Berdasarkan amanat konstitusi itu, maka negara membentuk badan penyelenggara jaminan sosial, yang diatur dalam UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU 24/2011 tentang BPJS,” beber guru besar Unej di bidang ilmu perundang-undangan itu.

“Jadi sebenarnya apa urgensi dan relasinya RUU Kesehatan mengubah kelembagaan BPJS Ketenagakerjaan menjadi di bawah Kementerian? sementara, RUU Kesehatan memiliki politik hukum dalam pembangunan sektor kesehatan masyarakat,” tutup Bayu. (RO/S-4)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat