visitaaponce.com

Kisruh Pemilihan Rektor, Kemendikbud-Ristek tidak Bisa Sampaikan Poin yang Dilanggar UNS

Kisruh Pemilihan Rektor, Kemendikbud-Ristek tidak Bisa Sampaikan Poin yang Dilanggar UNS
Direktur Reputasi Akademik UNS, Dr Sutanto menunjukkan Pemerndikbudristek 24/2023 berisi pembekuan MWA.(Dok. UNS)

TERKAIT kisruh pemilihan rektor di Universitas Sebelas Maret (UNS), Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Dirjen Dikti-Ristek) Nizam menyebut pihaknya tidak bisa membeberkan poin apa yang dilanggar UNS sampai mengakibatkan pelantikan rektor mereka dibatalkan.

Kemendikbud-Ristek hanya menyampaikan bahwa dalam pemilihan rektor itu dinilai bertentangan dengan undang-undang.

“Saya tidak boleh menyampaikan (pelanggaran apa yang dilakukan). Karena hasil investigasi Irjen kan sifatnya rahasia. Dan tindak-lanjutnya oleh Sekjen,” ujar Nizam kepada Media Indonesia, Rabu (5/4).

Baca juga: Nadiem Batalkan Hasil Pemilihan Rektor UNS Periode 2023–2028

Nizam juga berpendapat kasus yang terjadi di UNS adalah hal yang biasa terjadi. Baik itu kecurangan, pelanggaran peraturan atau pelanggaran prosedur, tim investigasi dari Kemendikbud-Ristek akan turun untuk meninjau.

“Sebetulnya kasus semacam UNS ini hal biasa. Langkah kita (melihat masalah yang ada di UNS ini), kita menurunkan tim investigasi. Kalau ditemukan kecurangan atau pelanggaran ya harus dibatalkan,” kata Nizam.

Baca juga: Pemerintah Harus Evaluasi MWA untuk Mode Pemilihan Rektor

Nizam juga menanggapi soal persentase suara Mendikbud-Ristek sebanyak 35 persen dalam pemilihan rektor tidak menjadi masalah. Malah, kata Nizam, seharusnya suara dalam pemilihan rektor di perguruan tinggi negeri sebanyak 100 persen.

“Lah PTN kan 100 persen milik negara, mestinya malah 100 persen. Jabatan rektor itu beda dengan ketua ormas, idealnya bukan berdasar election tapi selection. Seperti pengisian jabatan publik, basisnya merit,” pungkas Nizam.

Sementara itu, pengamat pendidikan Doni Koesuma menilai suara Menteri dalam pemilihan rektor sebanyak 35 persen itu terlalu banyak. Sehingga universitas tidak bisa independen dalam menentukan siapa rektor terbaik menurut senat mahasiswa dan seluruh civitas akademik.

“Proses pemilihan rektor selama ini suara dari Kemendikbud 35 persen, ini mencederai demokrasi. Karena dari suara 35 persen dia bisa memecah belah kampus. Sehingga nanti rektor jadi orang-orangnya Menteri, sekalipun itu suara dari bawah. Suara dari bawah tidak bisa mengalahkan itu. Sepertinya harus dikembalikan ke otonomi kampus, biarkan rektor dipilih berdasarkan pilihan terbaik orang-orang di kampus itu,” ujar Doni.

Doni menilai 35 persen suara Menteri dalam pemilihan rektor di universitas bisa saja memicu praktik suap-menyuap. Potensi korupsi justru, kata Doni, mungkin saja terjadi apabila masing-masing memiliki kepentingan.

“Bisa jadi suap menyuap terjadi. karena suara dari Kemendikbud besar. Sehingga orang yang terbaik dari kampus tidak bisa lolos karena dia tidak bisa berkomunikasi dengan Menteri. Dia 35 persen, selama yang saya lihat ini terpecah belah jadinya. MWA dan Senat itu dipecah di situ,” jelas Doni.

“Karena Menteri punya kepentingan orang-orangnya yang dipilih. Nurut terus. Sementara perguruan tinggi punya otonomi. Ini dampaknya jelas sekali. Tetapi ketika ada permasalahan di perguruan tinggi, rektornya ditangkap KPK dan sebagainya, Mendikbudnya lepas tangan. Harusnya dia ikut tanggung jawab. Penanggung jawab utama perguruan tinggi di Indonesia itu kan Mendikbud nya,” imbuh dia.

Dia mengingatkan pemilihan rektor yang terlalu mendapatkan intervensi dari pemerintah akan menjadi preseden buruk ke depannya bagi pengelolaan kampus.

Dia meminta kampus diberikan kembali otonominya sebagai lembaga pendidikan yang independen. Jika pun Kemendikbud-Ristek ingin berkontribusi dalam pemilihan rektor, menurut Doni Menteri hanya bisa memberikan suaranya sebesar 10 persen saja.

“Kalau misalnya Kemendikbud mau memilih, ikut menentukan, ya porsinya 10 persen saja. Artinya biarkan sebagian besar suara dari bawah. Menteri tinggal mendukung seharusnya apa yang diputuskan oleh civitas akademika. Peraturan Menteri juga harus diubah. Kalau seperti sekarang proses pemilihan rektor itu semua rektornya orang-orangan Menteri. Kalau bukan orang-orangan menteri, sulit jadi rektor,” pungkasi dia. (Dis/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat