visitaaponce.com

Berkaca dari Kasus AG, Menteri PPPA Ciptakan Lingkungan Kondusif Bagi Tumbuh Kembang Anak

Berkaca dari Kasus AG, Menteri PPPA: Ciptakan Lingkungan Kondusif Bagi Tumbuh Kembang Anak
Ilustrasi - Menteri PPPA menilai perlu peran semua orang untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak.(Antara)

KASUS anak yang berhadapan dengan hukum, seperti AG, semakin marak terjadi. Menyoroti hal ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengatakan masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan terkait anak.

Bintang meminta seluruh pihak baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat penegak hukum, akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa hingga masyarakat ambil peran untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak.

“Kasus anak yang berkonflik dengan hukum tentunya tidak terjadi secara instan, namun ada bermacam proses yang melatarbelakanginya, mulai dari faktor internal hingga eksternal. Sedikit banyak, kita sebagai orang dewasa turut andil dari menciptakan lingkungan yang mungkin saja tidak kondusif bagi tumbuh kembang anak,” kata Bintang dalam ‘Focus Group Discussion mengenai Upaya Perlindungan Khusus Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum’, di Kab. Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (15/4).

Baca juga: Pesantren Dan PT Keagamaan Di Indonesia Terbuka Untuk Pelajar Palestina

Dia menyebut saat ini anak-anak mendapat tantangan yang berbeda dengan generasi terdahulu, yaitu derasnya arus informasi dan globalisasi. Sehingga anak-anak mudah meniru norma dan nilai yang hadir melalui dunia maya tanpa diimbangi kecakapan menyaring informasi.

Bintang juga menambahkan dampak negatif dari perkembangan pembangunan, membuat terjadinya kesenjangan antar kelas sehingga memaksa anak mengikuti gaya hidup yang menjadi tren. Namun, tidak diimbangi dengan kemampuan untuk memenuhinya, sehingga tak jarang anak menempuhnya dengan cara yang melanggar hukum.

Baca juga: Baru 33% Masyarakat Aktif Skrining Penyakit Tidak Menular

Anak, kata Bintang, masih dalam fase perkembangan fisik, psikis, sosial, dan emosional umumnya masih belum dapat menimbang konsekuensi dari apa yang mereka lakukan. Beban psikologi dari lingkungan itu mengakibatkan anak kesulitan menunjukkan empati.

"Apalagi jika mereka tidak menemukan role model yang ideal dan pengetahuan serta bimbingan yang memadai. Hal ini menyebabkan kekerasan sulit dicegah, ditambah lagi dengan terbatasnya kegiatan positif atau kreatif yang dapat diakses anak khususnya remaja di daerah,” tutur Menteri PPPA.

Oleh karena itu, salah satu bentuk perlindungan anak oleh negara, lanjut Bintang, diwujudkan melalui sistem peradilan pidana anak. Sistem peradilan pidana khusus bagi anak memiliki tujuan khusus bagi kepentingan masa depan anak dan masyarakat yang di dalamnya terkandung prinsip-prinsip keadilan restoratif yang mengedepankan aspek pemulihan.

“Ini aspek pemulihan ya. Bukan pembalasan pada anak yang berkonflik dengan hukum,” tegasnya.

Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita mengatakan anak-anak yang berhadapan dengan hukum, banyak berangkat dari keluarga yang pengasuhannya kurang optimal, dan kurang kasih sayang.

Hal ini merupakan akar permasalahan, karena menyebabkan kecerdasan emosional anak menjadi rapuh dan lemah sehingga anak cenderung melakukan kenakalan. Dalam hal ini, anak-anak tersebut sebenarnya membutuhkan intervensi untuk pemulihan psikososialnya, begitu juga dengan keluarganya.

“Kami sangat berharap pemerintah daerah dan pemerintah pusat mengoptimalkan layanan pengasuhan untuk keluarga, pengasuhan untuk keluarga tidak sebatas mengajarkan mereka tentang bagaimana parenting, bagaimana mengasuh anak, tetapi menyediakan ruang-ruang konseling yang bisa diakses oleh keluarga secara gratis dan dekat,” ujar Dian.

“Adanya Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) itu sudah baik sekali, tinggal bagaimana PUSPAGA bisa diperbanyak timnya, sehingga bisa masuk ke desa-desa atau kelurahan-kelurahan. Kemudian juga lingkungan pendidikan sendiri, ini sangat penting memengaruhi perilaku anak sejak dini, anak juga perlu didorong untuk ditingkatkan daya literasinya agar ketika ada pengaruh negatif, dia bisa mencerna dan menganalisa terlebih dahulu,” tambah dia.

Pengasuhan yang diterima anak bukan hanya di rumah saja, satuan pendidikan juga memiliki peranan penting. Pemerhati dan Praktisi Pendidikan, Retno Listiyarti menyampaikan bahwa satuan pendidikan seharusnya membentuk karakter dan juga memanusiakan anak.

Tenaga pendidikan dan kependidikan yang menerapkan disiplin dengan kekerasan dan penggunaan diksi negatif tidak mampu membantu anak memahami maksud pembelajaran di sekolah, justru berkontribusi melanggengkan kekerasan terhadap anak serta membentuk karakter anak yang rendah diri, bahkan depresi atau trauma mendalam.

“Anak-anak yang diberikan disiplin dengan kekerasan dan tidak memanusiakan justru membuat anak trauma untuk ke sekolah dan sulit memahami pembelajaran,” kata Retno.

“Kami di sekolah menerapkan diksi positif pada semua guru dan anak-anak yang kurang berprestasi justru yang dipilih untuk mengikuti berbagai perlombaan sebagai bentuk dorongan agar anak berani dan memahami manfaat proses belajar bagi dirinya,” pungkas dia. (Z-3)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat