visitaaponce.com

Sederet Pasal Kontroversi di RUU Kesehatan

Sederet Pasal Kontroversi di RUU Kesehatan
Ilustrasi RUU kesehatan(MI/Seno )

KETUA Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Prof Tjandra Yoga Aditama menilai banyak pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang menimbulkan kontroversi.

Terdapat beberapa kebijakan yang dinilai menimbulkan kontroversi salah satunya terkait pendidikan dokter spesialis yang diharapkan sampai ke daerah namun berbenturan dengan pasal lain.

Kontroversi Pasal 180 ayat (2) RUU Kesehatan

Pada pasal 180 ayat (2) yang menyebutkan bahwa selain memberikan pelayanan kesehatan rumah sakit juga dapat dapat menyelenggarakan fungsi pendidikan dan penelitian di bidang kesehatan.

Baca juga: Ombudsman: RUU Kesehatan Penting untuk Segera Disahkan

"Ayat itu dimulai dengan kata 'selain', yang tentunya dapat diartikan bahwa ini adalah kegiatan selain memberi pelayanan kesehatan perseorangan secara paripurna yang tentunya amat penting itu," kata Tjandra saat dihubungi, Selasa (9/5).

Sementara dalam ketentuan umum disebutkan bahwa rumah sakit adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan secara paripurna melalui pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif dengan menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Baca juga: Menkes Minta Perbedaan Pendapat RUU Kesehatan Diselesaikan dengan Beradab

"Jadi tegas di sini bahwa rumah sakit tugas utamanya adalah menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna," ujarnya.

Sehingga menurutnya tugas ini cukup berat, maka tugas rumah sakit ditambah lagi. Selain pelayanan kesehatan perseorangan dalam bentuk spesialistik dan/atau subspesialistik, rumah sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan dasar.'

"Jadi tentunya segala upaya harus dilakukan maksimal agar semua tugas utama ini dapat tercapai demi kesehatan anak bangsa. Kita semua mengharapkan agar semua anggota masyarakat mendapat pelayanan terbaik di rumah sakit kita," ungkapnya.

Kontroversi Pasal 180 ayat (3) RUU Kesehatan

Hal ini ditegaskan lagi dengan pasal 180 ayat (3) yang menyebutkan 'setiap rumah sakit harus menyelenggarakan tata kelola rumah sakit dan tata kelola klinis yang baik' jadi tetap tentang aspek klinik pada pasien dan pengunjung rumah sakit, bukan tata pendidikan.

"Sejalan dengan itu, kompetensi pimpinan rumah sakit, yang disebut kepala atau direktur rumah Sakit sebagaimana dimaksud dijabat oleh mereka yang memiliki kompetensi manajemen rumah sakit, bukan kompetensi pendidik," jelasnya.

Kontroversi Pasal 187 ayat (2) RUU Kesehatan

Permasalahan lain yakni pada pasal 187 ayat (2) bahwa rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia.

"Sementara pada pasal 188 bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Rumah Sakit," kata Pengurus PP Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Iqbal Mochtar.

Masalah utama yang menjadi sorotan tenaga kesehatan yakni terkait hak imunitas. Seperti pada pasal 462 bahwa jika pasien melakukan kelalaian dapat dipidana 3 tahun dan jika menyebabkan kematian dipidana 5 tahun.

Iqbal mengatakan bahwa profesi dokter menjadi rawan karena jika pasien datang dalam kondisi luka berat dan tidak terselamatkan keluarga pasien bisa menggunakan pasal tersebut.

"Tidak ada hak imunitas dokter di situ," ucapnya.

Di sisi lain ada pasal yang juga bisa menjadi perlindungan bagi dokter dan tenaga kesehatan yakni pada pasal 282 Tenaga Medis dan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional.

Bunyi tersebut juga tercantum dalam Pasal 57 huruf a UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

 

Ada yang Harus Diselaraskan

Sementara itu, Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Beni Satria menegaskan pembahasan RUU Kesehatan antara organisasi profesi dengan pemerintah tidak buntu hanya saja terdapat hal-hal yang harus selaraskan.

"Sebenarnya tidak buntu tapi sepertinya pak Menkes lebih mendengar orang-orang di sekitar beliau yang tidak memahami profesi ini (dokter), jadi kalau cenderung satu sumber saja yang tidak pelayanan kesehatan justru tidak mendapat input pelayanan tidak benar," ungkapnya.

Ia meminta RUU Kesehatan ditinjau ulang dan dilakukan pembahasan kembali sehingga tidak perlu tergesa-gesa atau terburu-buru dalam menetapkanya.

"Kita (organisasi) ini umurnya bertahun-tahun, tapi ada bagian dari PB IDI yang tidak suka secara pengurus tapi mengatasnamakan IDI dan diyakini informasi tidak benar itu yang kami sayangkan," pungkasnya. (Iam/Z-7)

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat