visitaaponce.com

Bermodus Pengajian Seks, Pimpinan Pesantren di NTB Perkosa 41 Santri

Bermodus Pengajian Seks, Pimpinan Pesantren di NTB Perkosa 41 Santri
Ilustrasi(Medcom.id)

PIMPINAN Pondok Pesantren LMI, 43, dan HSN, 50, di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), diduga memperkosa 41 santriwatinya. Pelaku menjerat korban dengan modus 'pengajian seks' dan dijanjikan masuk surga.

Saat ini, tiga dari 41 korban telah membuat laporan polisi dan kedua pelaku langsung dijebloskan ke tahanan oleh Polres Lombok Timur.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mengecam keras tindak kekerasan seksual tersebut, terlebih di lingkungan pendidikan keagamaan.

Baca juga : Miris, Anak 7 Tahun Jadi Korban Rudapaksa Kakeknya hingga Menderita Penyakit Kelamin

"Kasus dengan modus diantaranya ‘janji masuk surga’ melalui ‘pengajian seks’ ini merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, yang tidak dapat ditolerir dan patut dihukum berat," cetus Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Nahar, Rabu (24/5).

Nahar geram karena terduga pelaku dengan keji melakukan kekerasan seksual persetubuhan dengan korban yang berusia 16-17 tahun. Padahal, terduga pelaku adalah pendidik di bidang keagamaan, yang seharusnya melindungi dan menuntun anak pada perbuatan yang baik dan benar.

Nahar mengemukakan apabila perbuatannya memenuhi unsur Pasal 76D UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terduga pelaku benar sebagai pengasuh atau pendidik anak, dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan, korbannya lebih dari 1 (satu) orang, dan perbuatannya dilakukan berulang, maka pelaku terancam sanksi pidana.

Baca juga : 202 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual di Sekolah, Data Januari-Mei 2023

Sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Ayat (1), (2), (3), (5), (6), dan (7) UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, pelaku mendapatkan ancaman hukuman maksimal berupa pidana mati, seumur hidup, dan/atau dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, serta diberikan tindakan kebiri dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Hak korban sesuai UU TPKS

Penegakan hakum kasus ini diharapkan juga dapat memperhatikan dan menggunakan UU No 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dimana hak-hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan juga dapat diberikan, termasuk hak untuk mendapatkan restitusi atau ganti rugi sebagai korban kekerasan seksual.

“Berpedoman pada UU No. 17 Tahun 2016 dan UU 12 Tahun 2012, Kementerian PPPA mendorong Aparat Penegak Hukum agar dapat memproses kasus ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hak-hak korban dapat dipenuhi,” tegas Nahar.

Baca juga : KPAI Desak Implementasi Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023, Cegah Kekerasan di Sekolah

Nahar berharap kepolisian dapat terus mendalami dan mengembangkan kasus ini, termasuk dapat membuka layanan pengaduan bersama untuk mengantisipasi masih ada korban lainnya yang belum berani lapor karena berbagai alasan.

kementerian PPPA, akan terus memantau upaya penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban TPKS ini yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Daerah melalui Dinsos-PPPA bersama UPTD PPA Provinsi NTB dan Kabupaten Lombok Timur, LBH Apik, serta Lembaga pendamping korban lainnya. (Z-4)

Baca juga : Dokter Ungkap Kondisi Terkini ABG 15 Tahun yang Diperkosa 10 Orang di Parigi Moutong

Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zubaedah Hanum

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat